Politik Internasional
The Power Struggle in Middle East
Israel-Palestina
Oleh: Yessica E. Daryanto (1010412028)
Dalam esai ini saya akan menjelaskan
tentang interaksi power dengan studi kasus “The Power Struggle in Middle East:
Israel-Palestina” atau perebutan kekuasaaan di Timur Tengah khususnya antara
Israel dan Palestina. Kasus Israel-Palestina sudah terjadi semenjak dulu, konflik terus
menerus antara
Israel dan Palestina, dimulai
ketika Israel menang dari wilayah dari musuh-musuhnya
di 1967 pada Perang Enam Hari. Seperti
begitu banyak kasus
lainnya antara Barat-Islam,
ini membuat kita kembali
ke ribuan
tahun, pada zaman Alkitab, ketika Palestina adalah rumah
orang-orang Yahudi. Pada
tahun 70 M, namun, penakluk Romawi membawa
negara Yahudi alkitabiah berakhir dan menghancurkan Yerusalem, Yudea membuat sebuah
Romawi provinsi. Jadi mulai sebuah proses yang dikenal sebagai Diaspora Yahudi, atau
"Dispersi" orang Yahudi dari Palestina. Orang Yahudi yang pergi dari Yerusalem banyak menetap di Babel, dan beberapa melarikan diri ke Mesir. Semua tentang agama mereka, identitas, adat istiadat, dan alkitab yang mereka yakini, Taurat. Dan memori dan kasus bangsa Yahudi di Yerusalem membuat mereka memiliki harapan untuk kembali ke Palestina yang memendam begitu dalam oleh orang Yahudi di seluruh dunia. Pada bagian ini, kita memeriksa perkembangan konflik modern antara Israel dan Palestina, dengan fokus pada Yahudi, Arab, dan Palestina nasionalisme dan klaim yang saling bertentangan antara daerah Palestina yang dilakukan oleh kaum agama islam yang kini menetap di Palestina dan bangsa Yahudi yang merasa bahwa Palestina adalah wilayah milik mereka.[1]
negara Yahudi alkitabiah berakhir dan menghancurkan Yerusalem, Yudea membuat sebuah
Romawi provinsi. Jadi mulai sebuah proses yang dikenal sebagai Diaspora Yahudi, atau
"Dispersi" orang Yahudi dari Palestina. Orang Yahudi yang pergi dari Yerusalem banyak menetap di Babel, dan beberapa melarikan diri ke Mesir. Semua tentang agama mereka, identitas, adat istiadat, dan alkitab yang mereka yakini, Taurat. Dan memori dan kasus bangsa Yahudi di Yerusalem membuat mereka memiliki harapan untuk kembali ke Palestina yang memendam begitu dalam oleh orang Yahudi di seluruh dunia. Pada bagian ini, kita memeriksa perkembangan konflik modern antara Israel dan Palestina, dengan fokus pada Yahudi, Arab, dan Palestina nasionalisme dan klaim yang saling bertentangan antara daerah Palestina yang dilakukan oleh kaum agama islam yang kini menetap di Palestina dan bangsa Yahudi yang merasa bahwa Palestina adalah wilayah milik mereka.[1]
Suasana konflik yang terjadi di
Timur Tengah dari waktu ke waktu seakan tak pernah surut dan berhenti. Timur
Tengah memiliki potensi konflik yang sangat kompleks, baik dari permasalahan
antara suku, golongan, maupun agama (Islam, Kristen, Yahudi), antar negara
(mengenai perbedaan ekonomi) serta berbagai masalah lain. Permasalahn yang
seolah tiada hentinya itu ditambah lagi dengan berdirinya negara Israel di
tanah Arab (warga Palestina), yang mengakibatkan orang-orang arab (warga
Palestina) terusir dari tanah airnya. Aksi terror yang dilancarkan Israel
bertujuan untuk mengusir orang-orang Arab Palestina dari kampung halamannya,
sehingga tanah pemukiman orang-orang Arab Palestina bisa dipakai sebagai tempat
pemukiman orang-orang Israel. Hal ini mengakibatkan orang-orang Palestina
seakan menjadi pengungsi di negaranya sendiri.
Sebenarnya konflik Arab-Israel dan
konflik kerawanan kawasan di Timur Tengah disebabkan oleh konflik
Israel-Palestina. Konflik ini berlangsung secara berkelanjutan bahkan tumbuh
anggapan bahwa sebelum Israel memberikan otoritas dan pengakuan penuh pada
Palestina, maka Timur Tengah tidak akan mengenal perdamaian.
Alasan saya tertarik membahas kasus
ini adalah karena saya tertarik untuk membahas kasus dan konflik yang terus
menerus terjadi antara Palestina dan Israel hingga kini. Dalam kasus ini saya
ingin mengkaji dan menganalisis apa yang menjadi penyebab konflik
berkepanjangan antara Palestina dan Israel, perkembangan kasus yang terjadi
antara kedua negara, aktor-aktor yang terlibat dan melihat lebih jauh dimensi
power yang terjadi, dan memandang dari segi realism dari konflik berkepanjangan
perebutan kekuasaan di Timur Tengah antara Israel dan Palestina.
Bagaimana kasus ini bisa terjadi
yaitu Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan
konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi
antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad ke-12.[2]
Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup
akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi
Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konferensi
Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai “pekerjaan sulit namun
bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan” bagi
penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian
Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi
dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik
Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel
ke Jalur Gaza yang dilancarkan sebulan terakhir ini semakin memperkuat keraguan
banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.
Dalam kasus yang terjadi antara
Palestina dan Israel banyak sekali memunculkan aktor-aktor yang terlibat baik actor-state maupun non-state actor. Yang menjadi Actor-State dalam kasus yang pertama
tentu saja kedua negara yang terlibat langsung dalam konflik yaitu Israel dan
Palestina. Amerika Serikat juga merupakan actor
dalam kasus ini di mana Amerika terlibat langsung dalam upaya berbagai hal
membantu Israel untuk mendapatkan kekuasaannya atas Palestina. Negara-negara
Eropa pun banyak yang mendukung Israel. Apalagi saat Hamas sebuah organisasi
militan di Palestina yang dianggap dan dicap sebagai teroris oleh negara-negara
Eropa maupun oleh Amerika Serikat, membawa angin kekhawatiran di kalangan para
pemimpin dunia di negara-negara barat terhadap masa depan Israel dan perdamaian
Timur Tengah. Teroris dianggap sebagai non-state
Actor yang muncul akibat perselisihan Palestina dan Israel yang tidak
kunjung selesai. Terorisme dijadikan Israel dan Amerika serikat sebagai sebuah
alasan untuk dapat menyerang dan menginvasi Palestina dengan lancar. PBB juga
merupakan non state actor yang
dianggap mampu untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi.
Dimensi Power yang terdapat dalam
kasus perebutan kekuasaan Palestina dan Israel adalah sebagai berikut, dalam
segi politik dan keamanan sangat jelas karna Palestina yang terletak di kawasan
Timur Tengah kawasan ini memiliki letak yang sangat strategis mulai dari utara Afrika
hingga utara Turki dan Timur Afganistan dan Asia Tengah. Dengan kata lain
Palestina yang terletak di kawasan Timur Tengah terletak di tiga persimpangan
benua yaitu Asia, Afrika, dan Eropa. Sehingga jika Israel dengan bantuan
Amerika mampu menundukkan Palestina maka akan memperoleh tempat strategis untuk
memperkuat power mereka lagi ke berbagai kawasan. Fakta lain adalah dimensi
politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta ini
setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara
adidaya pada Israel.[3] Namun
dari segi politik bukan hanya satu-satunya dimensi yang dapat melihat bagaimana
konflik ini terjadi. Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja
ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi
kekayikan terhadap “tanah yang dijanjikan” sebagai tradisi teologis Yahudi juga
tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua
aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai
pemicu konflik Israel-Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek
tersebut turut mewarnai konflik.
Dari
segi ekonomi, Palestina yang terletak di kawasan Timur Tengah menjadi begitu
penting karena merupakan penghasil minyak dan gas yang terbesar yang selama ini
sudah tentu menjadi penopang kebutuhan energi di dunia. Terutama untuk
negara-negara maju yang membutuhkan energi yang sangat besar, untuk menopang
roda ekonominya dikarenakan lebih memanfaatkan dari segi industri bukan dari
sumber daya alam.
Konflik Israel-Palestina dengan
sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat
disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik sosial sendiri –
sebagaimana dikatakan Oberschall mengutip Coser– diartikan sebagai “…a
strugle over values or claims to status, power, and scare resource, in wich the
aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also
to neutralise injure or eliminate rivals.[4] Pengertian ini
menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan
berbagi konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social
class conflict), konflik ras (ethnics and racial conflicts),
konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik antar
komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya.
Level of analysis yang terdapat
dalam kasus perebutan kekuasaan di Timur Tengah yang dalam hal ini adalah
konflik Palestina dan Israel mencakup faktor negara, regional, dan global.
Israel yang melakukan pemungutan suara terbanyak dari seluruh warga negaranya
untuk mengambil keputusan dalam mengambil sikap atas Israel terhadap Palestina
masuk dalam faktor negara atau kebijakan nasional dari Israel. Begitu pula yang
dilakukan oleh Palestina untuk terus menjunjung tinggi kedaulatan negaranya
serta mempertahankan wilayahnya yang direbut oleh Israel juga masuk dalam level
negara. Menyatunya Israel dan Palestina dalam suatu konflik hubungan
internasional menjadikan mereka dalam faktor regional. Karena, dengan perilaku
Israel yang menduduki wilayah Palestina tentu saja menyebabkan terganggunya
stabilitas regional karena ketika sebagian wilayah Palestina direbut dan
dirampas Israel tentu saja menyebabkan sebagian warga Palestina mengungsi ke
berbagai negara tetangga dan hal lainnya yang menyebabkan terganggunya
stabilitas regional yang menyebabkan negara-negara yang menjadi tempat
pengungsian warga Palestina terganggu akan kehadiran mereka. Selain karena
terganggunya negara-negara yang dijadikan tempat pengungsian oleh Palestina
stabilitas regional pun menjadi terguncang ketika beberapa negara yang menjadi
tempat pengungsian warga Palestina seperti negara-negara di Asia Barat akhirnya
memutuskan untuk berperang melawan Israel untuk menstabilkan kembali negaranya.
Semua hal ini menyebabkan juga dipandang secara level global dikarenakan kasus
dan konflik seteru antara Israel dan Palestina menjadi perhatian serius dunia
sebab juga menimbulkan banyaknya goncangan kestabilan negara-negara di dunia
yang bekerja sama ataupun berkaitan dengan negara-negara yang berkonflik.
Interaksi yang tercipta dalam kasus
ini adalah kerjasama yang timbul dari Amerika Serikat terhadap Israel. Amerika
Serikat menganggap Israel sebagai mitra baik. Terdapat pula kompetisi yang
terus terjadi antara Palestina dan Israel yang terus melakukan banyak hal unuk
memperkuat powernya dan mempertahankan stabilitas dan kepentingan nasionalnya
masing-masing. Atas semua itu tentu saja meninmbulkan konflik bahkan perang
berkepanjangan yang terus antara Israel-Palestina.
Permasalahan ini
menunjukkan bahwa hubungan internasional tak hanya menggambarkan kerja sama dan
persekutuan, tapi juga hubungan internasional yang menunjukkan perpecahan, konflik, dan kepentingan negara sebagai
yang utama. Karena itu, Saya akan membahas kasus pendudukan Israel di
Palestina ini dengan sudut pandang Realisme.
Realisme adalah teori pendekatan
dalam Hubungan Internasional yang melihat negara sebagai aktor yang berusaha
mencari kekuasaan atau fokus pada tujuan-tujuan atau kepentingannya sendiri.
Berbeda dengan Liberalisme yang menekankan perdamaian dan kerjasama dalam
hubungan internasional, realisme menekankan pada perang dan konflik dalam
hubungan internasional.[5]
Realisme
mempunyai empat asumsi: State is a principal actor, State is an unitary actor,
Stateis a rational actor,
dan National Security is the important issue.[6]
State
is a principal actor artinya negara sebagai aktor utama/dominan dalam
hubungan internasional. Realisme memang mengakui keberadaan
organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok kepentingan, tetapi tetap saja
mereka memandang aktor non negara lebih tidak penting. Negara selalu
menjadi aktor dominan.
State is an unitary
actor artinya negara sebagai satu kesatuan; negara menghadapi dunia
luar (negara) sebagai sebuah unit yang terintegrasi (pembauran menjadi
satu kesatuan yang utuh). State as an
unitary actor biasa diasumsikan oleh realis untuk mempunyai satu
kebijakan untuk negara secara keseluruhan pada isu-isu tertentu.[7]
State is a rational
actor artinya negara selalu mempertimbangkan secara rasional tindakan dan
keputusannya, yang tentunya dalam tindakan dan keputusan tersebut condong
memenuhi kepentingan dan keuntungan negara itu sendiri.
National Security is the important issue; artinya realisme
menganggap keamanan nasional merupakan isu terpenting dalam hubungan
internasional. Power adalah
kunci konsep bagi realisme. Keamanan militer dan isu strategis menunjuk pada
isu politikal yang tinggi, sedangkan isu ekonomi dan sosial dipandang sebagai
isu politikal yang rendah.[8]
Pada kasus pendudukan Israel di
Palestina, asumsi negara adalah aktor yang rasional adalah asumsi yang paling
menonjol. Kedua aktor negara dengan rasionalitasnya mempertahankan apa yang
baik dan menguntungkan baginya.
Kasus tak berujung antara Israel dan
Palestina ini tentulah sangat relevan bila dipandang dari perspektif realisme.
Keempat asumsi realisme sangat cocok dan mendukung kasus ini. Berikut
pembuktian dan penjelasannya:
State is a unitary actor : Palestina dan Suriah
mengecam undang-undang referendum baru di Israel´, merupakan salah satu bukti
bahwa kasus ini dihadapi dengan konsep state as a unitary actor. Mereka menggunakan
nama negaranya sebagai kata gantinya, yang menunjukkan bahwa negara mempunyai
satu suara bulat untuk hal tersebut; tak menunjukkan pihak yang merupakan bagian
dari negara (seperti partai politik, masyarakat, organisasi dalam negara, atau
pun kelompok-kelompok tertentu) ambil andil di dalamnya atau mempunyai satu
suara sendiri.
Negara melakukan hubungan
internasional secara satu, negara itu sendiri, bukan individual atau kelompok (yang merupakan bagian dari negara
itu). Bukti lain bahwa kasus pendudukan Israel di Suriah dan Palestina
ini menganut asumsi stateas a unitary
actor adalah kutipan, “mensyaratkan siapa pun yang menjadi perdana
menteri Israel harus mendapat dukungan 80
dari 120 anggota parlemen untuk menarik mundur Israel dari wilayah
pendudukan di Jerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan. Jika
dukungan parlemen tidak diperoleh, tidak mencapai 80 suara tersebut, maka
pemerintah Israel harus menggelar referendum nasional, yaitu meminta suara
rakyat mayoritas.”
Kutipan ini menyatakan dengan jelas
bahwa negara harus mempunyai satu suara bulat untuk satu keputusan. Tak hanya keputusan dari parlemen
atau bagian pemerintahan, tapi benar- benar dari seluruh rakyat
juga. Apa pun nanti hasil yang keluar sebagai keputusan, adalah keputusan
negara, suara negara, dalam kasus ini, keputusan Israel. Inilah yang
benar-benar dimaksud dengan state as a unitary actor.
State is a principal actor: “Palestina
mengecam undang-undang referendum baru di Israel.” Kutipan ini menyatakan bahwa
negaralah yang mempunyai peranan penting, atau sebagai aktor utama. Karena
kedua aktor inilah yang mempunyai andil besar dalam kasus ini..
State is a rational actor: dalam
kasus ini, asumsi ini berperan paling besar. Aktor negara benar-benar mementingkan urusan dan keuntungan negara mereka
masing-masing. Israel di sini merupakan aktor yang paling jelas menganut
asumsi “negara adalah aktor rasional” dalam-dalam. Israel hanya memikirkan
agar bagaimana negaranya mendapatkan daerah seluas-luasnya. Setelah mendapatkan
daerah-daerah tersebut, ia juga menggunakan berbagai cara untuk
mempertahankan daerah-daerah yang sudah ia dapatkan. Dengan rasionalitasnya, ia
mengabaikan hubungan diplomasi dan kerja sama yang ia bisa dapatkan dengan
Palestina bila berdamai dan menyerahkan kembali semua wilayah mereka. Israel
tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah ia
miliki itu. Karena dengan adanya daerah-daerah itu, wilayah untuk pemukiman
Israel lebih luas, zona aman untuk perangnya pun lebih besar, sumber daya alam
yang didapatkan lebih banyak, dan hal ini pun menunjukkan Israel mempunyai
power yang besar. Dengan semua
keuntungan yang didapatkannya itu, Israel secara rasional mempertahankan
daerah-daerah yang “dicurinya”. Di lain pihak, Palestina juga secara rasional
ingin mengambil kembali kepunyaannya. Palestina tak begitu saja pasrah dengan
keadaan Israel mengambil sebagian tanah mereka. Mereka berusaha dengan cara
diplomasi dan konflik untuk mengambil kembali tanahnya, untuk kepentingan
negaranya dan kembalinya kedaulatan negaranya.Tak ada pihak yang mau mengalah
demi perdamaian di antara mereka. Sisi rasionalitas mereka akan kepentingan
negaranya masing-masing menjadi halangan terbesar bagi perdamaian yang
diharapkan dunia sejak lama.
National Security, ini merupakan isu
yang dianggap realisme paling penting. Demikian pula Palestina menganggapnya. Keamanan negara merupakan
penunjang utama kedaulatan suatu negara. Karena itu,Palestina menuntut Israel
dengan keras untuk mengembalikan daerah-daerah yang memang merupakan bagian
dari mereka. Mereka tidak menyetujui sama sekali syarat yang diajukan oleh
pemerintah Israel mengenai pengumpulan suara untuk menentukan dikembalikan atau
tidaknya wilayah Palestina. pada faktanya Jerusalem Timur adalah wilayah asli
bagi Palestina hal ini bukan sesuatu yang bisa ditawar-tawar dan
dinegosiasikan. Ini karena National Security merupakan sesuatu yang sangat
penting.
Kenneth Waltz mengatakan,” With many sovereign states, with no system
of law enforceable among them, with each state judging its grievances and
ambitions according to the dictates of its own reason or desire – conflict,
sometimes leading to war, is bound to occur”[9]
Itu sangat menjelaskan bahwa setiap negara yang
bersifat anarchy berpeluang untuk
melakukan perang. Maka dari itu mereka realism mengatakan bahwa mereka selalu
berusaha meningkatkan power mereka
dengan segala cara, seperti yang dilakukan Israel dengan bantuan
sekutu-sekutunya seperti Amerika Serikat dengan menginvasi wilayah Timur Tengah
dan dalam kasus ini kasus Palestina-Israel.
Realis juga dapat memandang yang
terjadi dari beberapa kepentingan pribadi beberapa negara atau aktor yang
terlibat dalam kasus ini. Seperti Amerika yang terlibat dalam hal membantu dan
mendukung Israel. Amerika sendiri memiliki national-interest
yang sangat jelas. Amerika Serikat terlibat salah satu contohnya adalah dalam
menggunakan hak vetonya untuk menolak Palestina masuk menjadi anggota PBB.
Ketika presiden otoritas Palestina, Mahmoed Abbas, mendesak Israel untuk segera
mengakui kedaulatan negara Palestina, hal ini dikatakan wartawan setibanya di
New York, senin (19/9) menjelang permintaan resmi bagi keanggotaan Palestina di
PBB. Namun Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, seperti yang dikutip
oleh The Independent menyatakan bahwa rencana Palestina masuk menjadi anggota
PBB akan gagal total.
Selain penolakan Benyamin Netanyahu,
Presiden Barrack Obama juga menyatakan penolakannya terhadap rencana Palestina
masuk menjadi anggota PBB.
“Komitmen Amerika bagi keamanan
Israel tidak akan goyah. Amerika dan Israel memiliki persahabatan yang dalam
dan akan terus berlanjut,” kata Obama saat menyampaikan pidato pada Sidang
Majelis Umum ke-66 PBB di Markas Besar PBB, New York. Penegasan Obama itu
dinyatakan dua hari menjelang Presiden Palestina Mahmud Abbas mengumumkan opsi
apa yang akan dipilih menyangkut niat Palestina mengajukan permohonan menjadi
anggota PBB.”
Amerika Serikat bahkan mengentikan bantuan dananya kepada
UNESCO yang menjadi salah satu badan PBB karena menerima Palestina sebagai
anggota UNESCO. Hal ini sudah sangat membuktikan bentuk kerjasama dari Israel
dan Amerika Serikat untuk mengalahkan Palestina.
Kesimpulan dari kasus ini adalah kasus atau konflik
perebutan kekuasaan di Timur Tengah khususnya dalam kasus Palestina-Israel
tidak akan selesai dengan cepat jika kedua negara masih terus menerus meningkatkan
dan mempertahankan ego mereka masing-masing. Namun memang benar, jika setiap
negara memiliki kepentingan masing-masing yang tidak dapat dipisahkan dengan self-interestnya. Perebutan kekuasaan di
wilayah Timur Tengah pun dilakukan untuk mendapatkan kepentingan pribadi dari
setiap negara. Setiap negara yang memperebutkan kekuasaan di kawasan Timur
Tengah melakukan itu demi meningkatkan power mereka agar mereka tidak dapat
ditindas atau terkalahkan dari negara lain yang menjadi rival atau saingan mereka serta mewujudkan adanya balance of power.
Jika semua negara di dunia memiliki keinginan untuk menciptakan perdamaian di
kawasan Timur Tengah, setiap negara seharusnya tidak melakukan invasi atau
memperebutkan wilayah negara lain serta mengembalikan wilayah yang mereka
ambil. Meski mereka menginginkan power yang lebih, tetap saja harus
memperhatikan norma-norma serta etika yang dapat menjaga kestabilan dan tidak
menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Daftar Pustaka
Richard W.
Mansbach and Kirsten L. Rafferty “Realism and The Condition of Anarchy”,
Introduction to Global Politics , Firse Published, 2008.
James N.
Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. “World Politics: An
Introduction”. New York: The Free Press.
Georg Sorensen. 1999. Introduction
to International Relations. US. America. Oxford University Press
Inc.
Mark V. Kauppi.
1999. International Relations Theory 3rd
edition. US. America. Ally and Bacon.
www.library.upnj.ac.id diakses pada
27 Januari 2012 pukul 17.00 wib
Oberschall.
1978. “Theories of Social Conflict”. Annual Review of Sociology.
[1]
James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An
Introduction. New York: The Free Press, hal 208
[2]
Perang Salib seringkali dipahami sebagai perang yang dipicu oleh persoalan
agama dengan sendirinya menjadi konotasi “Perang Agama”, padahal jika
dianalisis lebih jauh, Perang Salib pada prinsipnya merupakan benturan antara
peradaban Timur dan Barat, dua peradaban yang digambarkan Samuel P Huntington
sebagai peradaban yang hampir sulit diakurkan. Terbukti bahwa, banyak pihak
dari kalangan Yahudi dan sejumlah kalangan Nasrani turut berjuang melawan
“Tentara Salib” di pihak Timur yang berada dalam kekuasaan khalifah Islam.
Penyebab utamanya adalah upaya Syaljuk merebut Syria dari Fatimiyah pada 1070
M. Ketidakmampuan Alexius Comnenus I, Raja Bizantium ketika itu, dalam
menghentikan kemajuan Turki menyebabkannya meminta bantuan kepada Paus pada
1901, dan Paus Urban II mengumumkan Perang Salib I. (Lihat: Karen Armstrong.
2003. “Islam: A Short History”. Alih Bahasa: Funky Kusnaendy Timur. Islam Sejarah Singkat. Yogyakarta:
Jendela, hlm:112-13; lihat juga: James Turner Johnson. 1997 “The Holy War Idea
in Western and Islamic Tradtion. Terjemah: Perang Suci Atas Nama Tuhan: Dalam Tradisi Barat dan
Islam. Bandung: Mizan)
[3]
Banyak pandangan yang menganggap Amerika bertanggung jawab terhadap konflik di
Timur Tengah. Dengan berbagai alasan, kebijakan Amerika dalam kasus
[4] A.
Oberschall. 1978. “Theories of Social Conflict”. Annual
Review of Sociology. Vol. 4. hal:291-315
[5] Georg Sorensen, Introduction to International
Relations (US. America: Oxford University Press Inc., 1999), hal. 44.
[6]
Mark V. Kauppi, International
Relations Theory 3rd edition,(US.
America: Ally and Bacon, 1999), hal. 10.
[7] Ibid
Hal. 6
[8]
Mark V. Kauppi, International
Relations Theory 3rd edition, (US.
America: Ally and Bacon, 1999), hal 7
[9]
Richard W. Mansbach and Kirsten L. Rafferty “Realism and The Condition of
Anarchy”, Introduction to Global Politics , Firse Published, 2008, hal. 255
Tidak ada komentar:
Posting Komentar