Welcome to My Imagine, "LOVE is Wonderful STORY"

Sabtu, 28 Desember 2013

The Power Struggle in Middle East Israel-Palestina

Politik Internasional
The Power Struggle in Middle East
Israel-Palestina
Oleh: Yessica E. Daryanto (1010412028)
            Dalam esai ini saya akan menjelaskan tentang interaksi power dengan studi kasus “The Power Struggle in Middle East: Israel-Palestina” atau perebutan kekuasaaan di Timur Tengah khususnya antara Israel dan Palestina. Kasus Israel-Palestina sudah terjadi semenjak dulu, konflik terus menerus antara Israel dan Palestina, dimulai ketika Israel menang dari wilayah  dari musuh-musuhnya di 1967 pada Perang Enam Hari. Seperti begitu banyak kasus lainnya antara Barat-Islam, ini membuat kita kembali ke ribuan tahun, pada zaman Alkitab, ketika Palestina adalah rumah orang-orang Yahudi. Pada tahun 70 M, namun, penakluk Romawi membawa
negara Yahudi alkitabiah berakhir dan menghancurkan Yerusalem, Yudea membuat sebuah
Romawi provinsi.
Jadi mulai sebuah proses yang dikenal sebagai Diaspora Yahudi, atau
"Dispersi" orang Yahudi dari Palestina.
Orang Yahudi yang pergi dari Yerusalem banyak menetap di Babel, dan beberapa melarikan diri ke Mesir. Semua tentang agama mereka, identitas, adat istiadat, dan alkitab yang mereka yakini, Taurat. Dan memori dan kasus bangsa Yahudi di Yerusalem membuat mereka memiliki harapan untuk kembali ke Palestina yang memendam begitu dalam oleh orang Yahudi di seluruh dunia. Pada bagian ini, kita memeriksa perkembangan konflik modern antara Israel dan Palestina, dengan fokus pada Yahudi, Arab, dan Palestina nasionalisme dan klaim yang saling bertentangan antara daerah Palestina yang dilakukan oleh kaum agama islam yang kini menetap di Palestina dan bangsa Yahudi yang merasa bahwa Palestina adalah wilayah milik mereka.[1]
            Suasana konflik yang terjadi di Timur Tengah dari waktu ke waktu seakan tak pernah surut dan berhenti. Timur Tengah memiliki potensi konflik yang sangat kompleks, baik dari permasalahan antara suku, golongan, maupun agama (Islam, Kristen, Yahudi), antar negara (mengenai perbedaan ekonomi) serta berbagai masalah lain. Permasalahn yang seolah tiada hentinya itu ditambah lagi dengan berdirinya negara Israel di tanah Arab (warga Palestina), yang mengakibatkan orang-orang arab (warga Palestina) terusir dari tanah airnya. Aksi terror yang dilancarkan Israel bertujuan untuk mengusir orang-orang Arab Palestina dari kampung halamannya, sehingga tanah pemukiman orang-orang Arab Palestina bisa dipakai sebagai tempat pemukiman orang-orang Israel. Hal ini mengakibatkan orang-orang Palestina seakan menjadi pengungsi di negaranya sendiri.
            Sebenarnya konflik Arab-Israel dan konflik kerawanan kawasan di Timur Tengah disebabkan oleh konflik Israel-Palestina. Konflik ini berlangsung secara berkelanjutan bahkan tumbuh anggapan bahwa sebelum Israel memberikan otoritas dan pengakuan penuh pada Palestina, maka Timur Tengah tidak akan mengenal perdamaian.
            Alasan saya tertarik membahas kasus ini adalah karena saya tertarik untuk membahas kasus dan konflik yang terus menerus terjadi antara Palestina dan Israel hingga kini. Dalam kasus ini saya ingin mengkaji dan menganalisis apa yang menjadi penyebab konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel, perkembangan kasus yang terjadi antara kedua negara, aktor-aktor yang terlibat dan melihat lebih jauh dimensi power yang terjadi, dan memandang dari segi realism dari konflik berkepanjangan perebutan kekuasaan di Timur Tengah antara Israel dan Palestina.
            Bagaimana kasus ini bisa terjadi yaitu Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad ke-12.[2] Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konferensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai “pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan” bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan sebulan terakhir ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.
            Dalam kasus yang terjadi antara Palestina dan Israel banyak sekali memunculkan aktor-aktor yang terlibat baik actor-state maupun non-state actor. Yang menjadi Actor-State dalam kasus yang pertama tentu saja kedua negara yang terlibat langsung dalam konflik yaitu Israel dan Palestina. Amerika Serikat juga merupakan actor dalam kasus ini di mana Amerika terlibat langsung dalam upaya berbagai hal membantu Israel untuk mendapatkan kekuasaannya atas Palestina. Negara-negara Eropa pun banyak yang mendukung Israel. Apalagi saat Hamas sebuah organisasi militan di Palestina yang dianggap dan dicap sebagai teroris oleh negara-negara Eropa maupun oleh Amerika Serikat, membawa angin kekhawatiran di kalangan para pemimpin dunia di negara-negara barat terhadap masa depan Israel dan perdamaian Timur Tengah. Teroris dianggap sebagai non-state Actor yang muncul akibat perselisihan Palestina dan Israel yang tidak kunjung selesai. Terorisme dijadikan Israel dan Amerika serikat sebagai sebuah alasan untuk dapat menyerang dan menginvasi Palestina dengan lancar. PBB juga merupakan non state actor yang dianggap mampu untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi.
            Dimensi Power yang terdapat dalam kasus perebutan kekuasaan Palestina dan Israel adalah sebagai berikut, dalam segi politik dan keamanan sangat jelas karna Palestina yang terletak di kawasan Timur Tengah kawasan ini memiliki letak yang sangat strategis mulai dari utara Afrika hingga utara Turki dan Timur Afganistan dan Asia Tengah. Dengan kata lain Palestina yang terletak di kawasan Timur Tengah terletak di tiga persimpangan benua yaitu Asia, Afrika, dan Eropa. Sehingga jika Israel dengan bantuan Amerika mampu menundukkan Palestina maka akan memperoleh tempat strategis untuk memperkuat power mereka lagi ke berbagai kawasan. Fakta lain adalah dimensi politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada Israel.[3] Namun dari segi politik bukan hanya satu-satunya dimensi yang dapat melihat bagaimana konflik ini terjadi. Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan terhadap “tanah yang dijanjikan” sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik. Dari segi ekonomi, Palestina yang terletak di kawasan Timur Tengah menjadi begitu penting karena merupakan penghasil minyak dan gas yang terbesar yang selama ini sudah tentu menjadi penopang kebutuhan energi di dunia. Terutama untuk negara-negara maju yang membutuhkan energi yang sangat besar, untuk menopang roda ekonominya dikarenakan lebih memanfaatkan dari segi industri bukan dari sumber daya alam.
            Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik sosial sendiri – sebagaimana dikatakan Oberschall mengutip Coser– diartikan sebagai “…a strugle over values or claims to status, power, and scare resource, in wich the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise injure or eliminate rivals.[4] Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social class conflict), konflik ras (ethnics and racial conflicts), konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik antar komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya.
            Level of analysis yang terdapat dalam kasus perebutan kekuasaan di Timur Tengah yang dalam hal ini adalah konflik Palestina dan Israel mencakup faktor negara, regional, dan global. Israel yang melakukan pemungutan suara terbanyak dari seluruh warga negaranya untuk mengambil keputusan dalam mengambil sikap atas Israel terhadap Palestina masuk dalam faktor negara atau kebijakan nasional dari Israel. Begitu pula yang dilakukan oleh Palestina untuk terus menjunjung tinggi kedaulatan negaranya serta mempertahankan wilayahnya yang direbut oleh Israel juga masuk dalam level negara. Menyatunya Israel dan Palestina dalam suatu konflik hubungan internasional menjadikan mereka dalam faktor regional. Karena, dengan perilaku Israel yang menduduki wilayah Palestina tentu saja menyebabkan terganggunya stabilitas regional karena ketika sebagian wilayah Palestina direbut dan dirampas Israel tentu saja menyebabkan sebagian warga Palestina mengungsi ke berbagai negara tetangga dan hal lainnya yang menyebabkan terganggunya stabilitas regional yang menyebabkan negara-negara yang menjadi tempat pengungsian warga Palestina terganggu akan kehadiran mereka. Selain karena terganggunya negara-negara yang dijadikan tempat pengungsian oleh Palestina stabilitas regional pun menjadi terguncang ketika beberapa negara yang menjadi tempat pengungsian warga Palestina seperti negara-negara di Asia Barat akhirnya memutuskan untuk berperang melawan Israel untuk menstabilkan kembali negaranya. Semua hal ini menyebabkan juga dipandang secara level global dikarenakan kasus dan konflik seteru antara Israel dan Palestina menjadi perhatian serius dunia sebab juga menimbulkan banyaknya goncangan kestabilan negara-negara di dunia yang bekerja sama ataupun berkaitan dengan negara-negara yang berkonflik.
            Interaksi yang tercipta dalam kasus ini adalah kerjasama yang timbul dari Amerika Serikat terhadap Israel. Amerika Serikat menganggap Israel sebagai mitra baik. Terdapat pula kompetisi yang terus terjadi antara Palestina dan Israel yang terus melakukan banyak hal unuk memperkuat powernya dan mempertahankan stabilitas dan kepentingan nasionalnya masing-masing. Atas semua itu tentu saja meninmbulkan konflik bahkan perang berkepanjangan yang terus antara Israel-Palestina.
            Permasalahan ini menunjukkan bahwa hubungan internasional tak hanya menggambarkan kerja sama dan persekutuan, tapi juga hubungan internasional yang menunjukkan perpecahan, konflik, dan kepentingan negara sebagai yang utama. Karena itu, Saya akan membahas kasus pendudukan Israel di Palestina ini dengan sudut pandang Realisme.
            Realisme adalah teori pendekatan dalam Hubungan Internasional yang melihat negara sebagai aktor yang berusaha mencari kekuasaan atau fokus pada tujuan-tujuan atau kepentingannya sendiri. Berbeda dengan Liberalisme yang menekankan perdamaian dan kerjasama dalam hubungan internasional, realisme menekankan pada perang dan konflik dalam hubungan internasional.[5]
            Realisme mempunyai empat asumsi: State is a principal actor, State is an unitary actor, Stateis a rational actor, dan National Security is the important issue.[6]
            State is a principal actor artinya negara sebagai aktor utama/dominan dalam hubungan internasional. Realisme memang mengakui keberadaan organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok kepentingan, tetapi tetap saja mereka memandang aktor non negara lebih tidak  penting. Negara selalu menjadi aktor dominan.
            State is an unitary actor artinya negara sebagai satu kesatuan; negara menghadapi dunia luar (negara) sebagai sebuah unit yang terintegrasi (pembauran menjadi satu kesatuan yang utuh). State as an unitary actor  biasa diasumsikan oleh realis untuk mempunyai satu kebijakan untuk negara secara keseluruhan pada isu-isu tertentu.[7]
           
            State is a rational actor artinya negara selalu mempertimbangkan secara rasional tindakan dan keputusannya, yang tentunya dalam tindakan dan keputusan tersebut condong memenuhi kepentingan dan keuntungan negara itu sendiri.
           
National Security is the important issue; artinya realisme menganggap keamanan nasional merupakan isu terpenting dalam hubungan internasional. Power adalah kunci konsep bagi realisme. Keamanan militer dan isu strategis menunjuk pada isu politikal yang tinggi, sedangkan isu ekonomi dan sosial dipandang sebagai isu politikal yang rendah.[8]
            Pada kasus pendudukan Israel di Palestina, asumsi negara adalah aktor yang rasional adalah asumsi yang paling menonjol. Kedua aktor negara dengan rasionalitasnya mempertahankan apa yang baik dan menguntungkan baginya.
            Kasus tak berujung antara Israel dan Palestina ini tentulah sangat relevan bila dipandang dari perspektif realisme. Keempat asumsi realisme sangat cocok dan mendukung kasus ini. Berikut pembuktian dan penjelasannya:
State is a unitary actor : Palestina dan Suriah mengecam undang-undang referendum baru di Israel´, merupakan salah satu bukti bahwa kasus ini dihadapi dengan konsep state as a unitary actor. Mereka menggunakan nama negaranya sebagai kata gantinya, yang menunjukkan bahwa negara mempunyai satu suara bulat untuk hal tersebut; tak menunjukkan pihak yang merupakan bagian dari negara (seperti partai politik, masyarakat, organisasi dalam negara, atau pun kelompok-kelompok tertentu) ambil andil di dalamnya atau mempunyai satu suara sendiri.
            Negara melakukan hubungan internasional secara satu, negara itu sendiri, bukan individual atau kelompok (yang merupakan bagian dari negara itu). Bukti lain bahwa kasus pendudukan Israel di Suriah dan Palestina ini menganut asumsi stateas a unitary actor adalah kutipan, “mensyaratkan siapa pun yang menjadi perdana menteri Israel harus mendapat dukungan 80 dari 120 anggota parlemen untuk menarik mundur Israel dari wilayah pendudukan di Jerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan. Jika dukungan parlemen tidak diperoleh, tidak mencapai 80 suara tersebut, maka pemerintah Israel harus menggelar referendum nasional, yaitu meminta suara rakyat mayoritas.”
            Kutipan ini menyatakan dengan jelas bahwa negara harus mempunyai satu suara bulat untuk satu keputusan. Tak hanya keputusan dari parlemen atau bagian pemerintahan, tapi benar- benar dari seluruh rakyat juga. Apa pun nanti hasil yang keluar sebagai keputusan, adalah keputusan negara, suara negara, dalam kasus ini, keputusan Israel. Inilah yang benar-benar dimaksud dengan state as a unitary actor.
            State is a principal actor: “Palestina mengecam undang-undang referendum baru di Israel.” Kutipan ini menyatakan bahwa negaralah yang mempunyai peranan penting, atau sebagai aktor utama. Karena kedua aktor inilah yang mempunyai andil besar dalam kasus ini..
            State is a rational actor: dalam kasus ini, asumsi ini berperan paling besar. Aktor negara benar-benar mementingkan urusan dan keuntungan negara mereka masing-masing. Israel di sini merupakan aktor yang paling jelas menganut asumsi “negara adalah aktor rasional” dalam-dalam. Israel hanya memikirkan agar bagaimana negaranya mendapatkan daerah seluas-luasnya. Setelah mendapatkan daerah-daerah tersebut, ia juga menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan daerah-daerah yang sudah ia dapatkan. Dengan rasionalitasnya, ia mengabaikan hubungan diplomasi dan kerja sama yang ia bisa dapatkan dengan Palestina bila berdamai dan menyerahkan kembali semua wilayah mereka. Israel tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah ia miliki itu. Karena dengan adanya daerah-daerah itu, wilayah untuk pemukiman Israel lebih luas, zona aman untuk perangnya pun lebih besar, sumber daya alam yang didapatkan lebih banyak, dan hal ini pun menunjukkan Israel mempunyai power yang besar. Dengan semua keuntungan yang didapatkannya itu, Israel secara rasional mempertahankan daerah-daerah yang “dicurinya”. Di lain pihak, Palestina juga secara rasional ingin mengambil kembali kepunyaannya. Palestina tak begitu saja pasrah dengan keadaan Israel mengambil sebagian tanah mereka. Mereka berusaha dengan cara diplomasi dan konflik untuk mengambil kembali tanahnya, untuk kepentingan negaranya dan kembalinya kedaulatan negaranya.Tak ada pihak yang mau mengalah demi perdamaian di antara mereka. Sisi rasionalitas mereka akan kepentingan negaranya masing-masing menjadi halangan terbesar bagi perdamaian yang diharapkan dunia sejak lama.
            National Security, ini merupakan isu yang dianggap realisme paling penting. Demikian pula Palestina menganggapnya. Keamanan negara merupakan penunjang utama kedaulatan suatu negara. Karena itu,Palestina menuntut Israel dengan keras untuk mengembalikan daerah-daerah yang memang merupakan bagian dari mereka. Mereka tidak menyetujui sama sekali syarat yang diajukan oleh pemerintah Israel mengenai pengumpulan suara untuk menentukan dikembalikan atau tidaknya wilayah Palestina. pada faktanya Jerusalem Timur adalah wilayah asli bagi Palestina hal ini bukan sesuatu yang bisa ditawar-tawar dan dinegosiasikan. Ini karena National Security merupakan sesuatu yang sangat penting.
Kenneth Waltz mengatakan,” With many sovereign states, with no system of law enforceable among them, with each state judging its grievances and ambitions according to the dictates of its own reason or desire – conflict, sometimes leading to war, is bound to occur”[9]
Itu sangat menjelaskan bahwa setiap negara yang bersifat anarchy berpeluang untuk melakukan perang. Maka dari itu mereka realism mengatakan bahwa mereka selalu berusaha meningkatkan power mereka dengan segala cara, seperti yang dilakukan Israel dengan bantuan sekutu-sekutunya seperti Amerika Serikat dengan menginvasi wilayah Timur Tengah dan dalam kasus ini kasus Palestina-Israel.

            Realis juga dapat memandang yang terjadi dari beberapa kepentingan pribadi beberapa negara atau aktor yang terlibat dalam kasus ini. Seperti Amerika yang terlibat dalam hal membantu dan mendukung Israel. Amerika sendiri memiliki national-interest yang sangat jelas. Amerika Serikat terlibat salah satu contohnya adalah dalam menggunakan hak vetonya untuk menolak Palestina masuk menjadi anggota PBB. Ketika presiden otoritas Palestina, Mahmoed Abbas, mendesak Israel untuk segera mengakui kedaulatan negara Palestina, hal ini dikatakan wartawan setibanya di New York, senin (19/9) menjelang permintaan resmi bagi keanggotaan Palestina di PBB. Namun Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, seperti yang dikutip oleh The Independent menyatakan bahwa rencana Palestina masuk menjadi anggota PBB akan gagal total.
            Selain penolakan Benyamin Netanyahu, Presiden Barrack Obama juga menyatakan penolakannya terhadap rencana Palestina masuk menjadi anggota PBB.
“Komitmen Amerika bagi keamanan Israel tidak akan goyah. Amerika dan Israel memiliki persahabatan yang dalam dan akan terus berlanjut,” kata Obama saat menyampaikan pidato pada Sidang Majelis Umum ke-66 PBB di Markas Besar PBB, New York. Penegasan Obama itu dinyatakan dua hari menjelang Presiden Palestina Mahmud Abbas mengumumkan opsi apa yang akan dipilih menyangkut niat Palestina mengajukan permohonan menjadi anggota PBB.”
Amerika Serikat bahkan mengentikan bantuan dananya kepada UNESCO yang menjadi salah satu badan PBB karena menerima Palestina sebagai anggota UNESCO. Hal ini sudah sangat membuktikan bentuk kerjasama dari Israel dan Amerika Serikat untuk mengalahkan Palestina.
Kesimpulan dari kasus ini adalah kasus atau konflik perebutan kekuasaan di Timur Tengah khususnya dalam kasus Palestina-Israel tidak akan selesai dengan cepat jika kedua negara masih terus menerus meningkatkan dan mempertahankan ego mereka masing-masing. Namun memang benar, jika setiap negara memiliki kepentingan masing-masing yang tidak dapat dipisahkan dengan self-interestnya. Perebutan kekuasaan di wilayah Timur Tengah pun dilakukan untuk mendapatkan kepentingan pribadi dari setiap negara. Setiap negara yang memperebutkan kekuasaan di kawasan Timur Tengah melakukan itu demi meningkatkan power mereka agar mereka tidak dapat ditindas atau terkalahkan dari negara lain yang menjadi rival atau saingan mereka serta mewujudkan adanya balance of power. Jika semua negara di dunia memiliki keinginan untuk menciptakan perdamaian di kawasan Timur Tengah, setiap negara seharusnya tidak melakukan invasi atau memperebutkan wilayah negara lain serta mengembalikan wilayah yang mereka ambil. Meski mereka menginginkan power yang lebih, tetap saja harus memperhatikan norma-norma serta etika yang dapat menjaga kestabilan dan tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan.



Daftar Pustaka
Richard W. Mansbach and Kirsten L. Rafferty “Realism and The Condition of Anarchy”, Introduction to Global Politics , Firse Published, 2008.
James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. “World Politics: An Introduction”. New York: The Free Press.
Georg Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. US. America. Oxford University Press Inc.
Mark V. Kauppi. 1999. International Relations Theory 3rd edition. US. America. Ally and Bacon.
www.library.upnj.ac.id diakses pada 27 Januari 2012 pukul 17.00 wib
Oberschall. 1978. “Theories of Social Conflict”. Annual Review of Sociology.




[1] James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free Press, hal 208
[2] Perang Salib seringkali dipahami sebagai perang yang dipicu oleh persoalan agama dengan sendirinya menjadi konotasi “Perang Agama”, padahal jika dianalisis lebih jauh, Perang Salib pada prinsipnya merupakan benturan antara peradaban Timur dan Barat, dua peradaban yang digambarkan Samuel P Huntington sebagai peradaban yang hampir sulit diakurkan. Terbukti bahwa, banyak pihak dari kalangan Yahudi dan sejumlah kalangan Nasrani turut berjuang melawan “Tentara Salib” di pihak Timur yang berada dalam kekuasaan khalifah Islam. Penyebab utamanya adalah upaya Syaljuk merebut Syria dari Fatimiyah pada 1070 M. Ketidakmampuan Alexius Comnenus I, Raja Bizantium ketika itu, dalam menghentikan kemajuan Turki menyebabkannya meminta bantuan kepada Paus pada 1901, dan Paus Urban II mengumumkan Perang Salib I. (Lihat: Karen Armstrong. 2003. “Islam: A Short History”. Alih Bahasa: Funky Kusnaendy Timur. Islam Sejarah Singkat. Yogyakarta: Jendela, hlm:112-13; lihat juga: James Turner Johnson. 1997 “The Holy War Idea in Western and Islamic Tradtion. Terjemah: Perang Suci Atas Nama Tuhan: Dalam Tradisi Barat dan Islam. Bandung: Mizan)
[3] Banyak pandangan yang menganggap Amerika bertanggung jawab terhadap konflik di Timur Tengah. Dengan berbagai alasan, kebijakan Amerika dalam kasus
[4] A. Oberschall. 1978. “Theories of Social Conflict”. Annual Review of Sociology. Vol. 4. hal:291-315
[5] Georg Sorensen, Introduction to International Relations (US. America: Oxford University Press Inc., 1999), hal. 44.
[6] Mark V. Kauppi, International Relations Theory 3rd edition,(US. America: Ally and Bacon, 1999), hal. 10.
[7] Ibid Hal. 6
[8] Mark V. Kauppi, International Relations Theory 3rd edition, (US. America: Ally and Bacon, 1999), hal 7


[9] Richard W. Mansbach and Kirsten L. Rafferty “Realism and The Condition of Anarchy”, Introduction to Global Politics , Firse Published, 2008, hal. 255

Tidak ada komentar:

Posting Komentar