ODA (Official
Development Assistance)
Proses dan
Perkembangan ODA Jepang di Indonesia
Oleh: Yessica
E. Daryanto (1010412028)
Jumlah kata:
2.734
Japan’s International Official Development
Assistance atau
ODA, merupakan sebuah landasan dalam
menggariskan kebijakan negara Jepang di dalam memberikan bantuan bagi
negara-negara yang sedang berkembang. Sejalan dengan kebijakan yang telah
digariskan oleh ODA serta pembangunannya di Indonesia, khususnya di dalam
pembangunan ekonomi makro dan stabilitas politik, yaitu upayanya dalam
mengurangi angka kemiskinan bagi Indonesia pada tahun 2004. Sesuai di dalam
amandemen Piagam ODA, bahwa tujuan ODA adalah untuk menyumbangkan kedamaian dan
pembangunan komunitas internasional dan untuk membantu memastikan keamanan dan
kemakmuran Jepang. Jepang akan menjalankan ODA secara lebih strategis lagi,
lewat peningkatan proyek-proyek ODA yang memprioritaskan keuntungan bagi Jepang
daripada yang bermanfaat bagi rakyat di negara-negara penerima bantuan ( www.nindja.org
diakses 27 Januari 2012).
Kerjasama yang tersedia
melalui ODA adalah dalam bentuk:
1.
Hibah Bilateral
2.
Pinjaman Bilateral atau Yen Loan, dan
3. Investasi/
kontribusi bagi organisasi internasional
Tujuan
bantuan hibah ODA sendiri adalah pengembangan kerjasama ekonomi sosial dengan
membantu pemerintah negara penerima bantuan untuk peningkatan fasilitas. Jenis
bantuan hibah adalah sebagai berikut:
a.
Hibah Umum, yaitu berupa hibah proyek umum (untuk
kesejahteraan anak, penghijauan, rehabilitasi hutan, pengembangan SDM), hibah
untuk penanganan hutang (debt relief
grants), hibah non proyek (seperti hibah program sektoral untuk pengembangan lingkungan dan sosial) dan
hibah untuk beasiswa ke Jepang .
b.
Hibah untuk sektor perikanan.
c.
Hibah budaya.
d.
Hibah darurat.
e.
Bantuan pangan.
f.
Bantuan peningkatan produksi pangan.
Bantuan ODA Jepang di Indonesia dimulai dari tahun 1954.[1]
Sistem bantuan ODA Jepang ke Indonesia “adalah Selama
ini Jepang telah memberikan berbagai bantuan terhadap negara-negara berkembang,
seperti bantuan dana dan teknik yang dibutuhkan dalam membangun sosial
ekonominya. Selain itu Jepang juga membantu apabila suatu negara yang terkena
bencana, misalnya Indonesia ketika Oktober lalu mengalami gempa bumi yang
terjadi di Padang, Sumatera Barat.
Pemerintah Jepang memberikan bantuan tanggap darurat terdiri dari tenda 100 buah, selimut 1500 helai, matras
tidur 900 buah, genset 80 buah, kabel gulung besar 80 buah, alat
water-purifying 35 buah, dengan jumlah senilai 25 juta Yen (2,5 milyar rupiah).
Bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Jepang sebagai pelaku utama, kita sebut
ODA (Official Development Assistance)
– Bantuan Pembangunan Pemerintah. Pinjaman Yen: Pinjaman Yen adalah, pinjaman
dana dengan persyaratan ringan, yaitu berjangka panjang dan berbunga rendah,
yang dibutuhkan negara berkembang, dalam rangka menata fondasi sosial
ekonominya, yang akan menjadi dasar dari pembangunan. Pinjaman Yen ini dilaksanakan
melalui, Japan Bank for International
Cooperation (JBIC). Bantuan Dana Hibah: Bantuan dana hibah yang dimaksud
disini adalah bantuan dana yang tidak disertai dengan kewajiban untuk membayar
kembali. Kerjasama Teknik: Kerjasama teknik adalah kerjasama yang diberikan
untuk membantu pengembangan SDM di negara-negara berkembang. Tujuannya
adalah agar setiap
SDM suatu negara
dapat berkembang di dalam mengembangkan sosial ekonominya. Oleh karena
itu Jepang menerapkan cara dengan mengundang tenaga magang, mengirim tenaga ahli
dan relawan, mengirim bantuan mesin dan peralatan, survey, atau kesemuanya ini
tercakup dalam bentuk "Proyek Kerjasama Teknik" dan lain-lain.
Kerjasama teknik ini dilaksanakan oleh suatu badan pemerintah independen yang
bernama Japan International Cooperation Agency (JICA) (www.id.emb-japan.go.jp , diakses 27 Januari 2012)
Begitu banyaknya dinamika yang terjadi di dalam hubungan
antara Indonesia
dan Jepang, dimulai dari peran Jepang 50 tahun yang lalu. Berawal dari bantuan
pengiriman tenaga ahli Jepang ke Indonesia membuat hubungan bilateral
Indonesia-Jepang menjadi sangat erat. Program bantuan ODA Jepang untuk
Indonesia lebih fokus kepada peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan
berbagai sektor lainnya.
Dari
permasalahan di atas, maka rumusan yang dapat diambil adalah :
ODA (Official Development
Assistance):
Bagaimanakah Proses dan
Perkembangan Bantuan ODA Jepang ke Indonesia?
Realism dan Foreign Aid
membahas Sistem internasional yang anarki menciptakan kebebasan otonomis
diantara negara-negara. Hal tersebut membuat sebuah sistem internasional yang
terdesentralisasi dimana setiap Negara adalah berdaulat, menggunakan power
mereka diatas sebuah “defined territory, a population and a government”
(Sorensen, 2004. P. 17), saat terlibat pada hubungan/permainan power
politik dengan Negara lainnya. Dalam setting
seperti ini, bantuan internasional/bantuan luar negeri (foreign aid) praktis hanya menjadi
sebuah alat kebijakan untuk mencapai kepentingan nasional. Alat kebijakan ini
dalam pandangan realis dilihat sebagai sebuah hasil dari perang dingin yang
digunakan dalam kompetisi diantara kekuatan great power. Bantuan internasional
di pandang sebagai sebuah senjata kunci dalam perang dingin untuk memperbesar
kemungkinan beraliansinya Negara-negara dunia ketiga kedalam salah satu kubu
great power. Namun, setelah melihat output
dari war world II, dirasa perlu untuk memutar balik arus kebijakan dari hard power ke soft
diplomacy action. seperti menjalin hubungan kerjasama bilateral,
multilateral, maupun triangular dengan fokus bidang ekonomi, perdagangan dan
investasi, kesehatan, kebudayaan, pendidikan, bantuan teknik dan lain-lain. Hal
tersebut seolah-olah dilrasakan penting oleh setiap Negara untuk menjalankan
kebijakan politik dalam negerinya agar terciptanya stabilitas politik. Motivasi politik itulah yang menurut
morghentau menjadi hal yang di pertimbangkan oleh donor saat memberikan bantuan
luar negeri (Hattori, 2002, p.642).
Kehadiran
bantuan internasional dianggap sebagai sebuah instrument kebijakan sejak adanya
kepentingan luar negeri yang tidak dapat di amankan dengan penanganan militer
dan untuk mendukung metode diplomacy yang sebenarnya “tradisional” namun dalam
bungkus yang lebih pantas. Selain kegunaan bantuan internasional sebagai instrument
untuk mendukung tujuan kebijakan luar negeri, dalam prakteknya muncul bahwa
kebijakan bantuan luar negeri meng-cover pula banyak disparitas tujuan dan
kegiatan, sebagai respon dari berbagai macam kebutuhan, yang terlihat maupun
yang tidak terlihat, berhubungan maupun tidak berhubungan pada tujuan politik
sebuah kebjakan luar negeri. (Morgenthau, 1962 , p.301)
Morghentau
(1962), salah satu tokoh central
realism, dalam artikelnya yang berjudul A Political Theory of Foreign Aid coba
mengembangkan tipologi dari bantuan internasional. Ia
mengidentifikasi lima tujuan kebijakan bantuan luar negeri, yaitu: military,
prestige, humanitarian, economic, dan subsistence. Tipologi ini di angkat untuk
mengorganisasikan kompleksitas kebijakan yang di labeli dengan nama “foreign
aid”. Berdasarkan hal ini maka ada dua tipe strategi yang di gunakan untuk
mendapatkan pengaruh: propaganda dan suap (propaganda and bribes). Sebagian
besar tipe bantuan internasional yang di identifikasi bersifat politis, hanya
sedikit yang sifatnya humanitarian
foreign aid. Artinya, hal yang seharusnya bersifat non politis
kemudian bersifat sangat politis ketika di letakkan dalam konteks politik.
Morghentau
menolak argumentasi pendukung bantuan bahwa bantuan internasional sebenarnya di
gunakan sebagai instrument penguat kapasitas demokrasi yang selanjutnya akan
menjadi dasar terciptanya perdamaan dunia. Kelompok pendukung bantuan internasional
mengatakan: “correlations between the
infusion of capital and technology into a primitive society and its economic
development, between economic development and social stability, between social
stability and democratic institutions, between democratic institutions and a
peaceful foreign policy”.
Morghentau berpendapat bahwa
korelasi yang di ungkapkan tidak memiliki dasar pada praktek-praktek bantuan
hingga tahun 1962. Untuk memperkuat pendapatnya ia menggunakan argument
kebudayaan, the
Burmese example yang mengatakan kesuksesan terjadi pada sebuah
dunia karena kesuksesan itu berdiri menghalangi kesuksesan dunia yang lain,
sebuah kisah yang mengambarkan hubungan antara kebudayaan dengan laju
pembangunan era industrialis. Dalam pandangannya, bantuan internasional
bukannya menghasilkan peningkatan pembangunan, namun justru menjadi alat
pelayanan kepentingan masyarakat precapitalistic
atau prerational.
Dalam konteks pembangunan
ekonomi, bantuan internasional seringkali kurang sukses. namun bagi para
pendukungnya kesuksesan bantuan internasional tidak hanya berdasarkan pada
hal-hal yang secara tegas berhubungan dengan ekonomi, namun lebih kepada
prakondisi intelektual, moral dan politik yang secara langsung tidak
berhubungan dengan manupulasi ekonomi, jikapun berhubungan hanya pada bagian
kulit manipulasi ekonominya saja. (Morgenthau, 1962, p.307) hal penting yang
coba di katakan oleh realis adalah bagaimana pengaruh praktek bantuan
internasional terhadap penipisan konsep kedaulatan.
Bantuan luar negeri akan tetap
menjadi masalah yang mengundang pro kotra apabila hanya bergerak pada ranah
teknis/ekonomi dalam prakteknya. Yang di butuhkan adalah integrasi dari foreign
aid ke dalam kebijakan Negara penerima bantuan (recipient country) dan dalam waktu
yang sama dijaga oleh kondisi politik. Di luar itu, kebijakan bantuan luar
negeri tidak ada bedanya dengan dengan kebijakan diplomatic atau propaganda.
Semuanya adalah senjata politik bagi sebuah Negara. (Morgenthau, 1962, p.309).
Masalah utama bagi usaha realis
dalam menjelaskan praktek foreign
aid adalah mereka menyangkal tujuan bantuan luar negeri adalah
untuk “menolong pembangunan sebuah Negara”, saat melakukannya, realis gagal
untuk meng-konstruk kerangka teoritis bagaimana seharusnya langkah-langkah yang
perlu di lakukan agar tujuan “helping countries develop” dapat tercapai. Realism
sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi foreign aid terhadap pembangunan
ekonomi. “Bantuan luar negeri untuk pembangunan ekonomi” dalam pandangan realis
hanyalah label
pada kebijakan Negara dalam mengejar power dan supremasi. Efektivitas bantuan
luar negeri bagi realism di evaluasi berdasarkan seberapa loyal Negara-negara
resipien kepada donor mereka. Bagaimanapun, dalam prakteknya, gambaran yang
lebih rumit dapat terlihat dalam praktek bantuan internasional di mana lebih
dari 20 donor terlibat dalam satu Negara yang membuat usaha penjelasan teoritis
diatas akan tergoncang.
Transformasi
dari rezim internasional untuk bantuan luar negeri dalam satu dekade terakhir
membuat pemahaman realis tidak banyak berguna dalam beberapa kasus, contohnya
praktek bantuan yang di lakukan melalui mekanisme institusi multilateral. Model
intitusi seperti ini lebih terlihat independen dari kepentingan-kepentingan
donor. Hal ini bertolak belakang dengan rekomendasi Morghentau tentang bantuan
luar negeri, bantuan untuk pembangunan ekonomi telah memunculkan harapan baru
dalam konteks pembangunan ekonomi di Negara-negara miskin dan berkembang.
Ekspektasi atas konteks baru inilah yang harus di jawab dan di jelaskan oleh
teori hubungan internasional di mana realism telah gagal melakukannya. (civiculture.wordpress.com ,
diakses 27 Januari 2012)
Sektor
prioritas dan kebijakan dasar dan bantuan ODA Jepang ke Indonesia ” Pemerintah
Jepang telah menetapkan 3 (tiga) pilar utama dalam membantu Indonesia dalam
proses kemandiriannya yang ditetapkan bulan November tahun 2004. Berikut 3 (tiga) pilar utamanya, antara lain: Bantuan untuk mewujudkan, "Pertumbuhan yang
berkesinambungan oleh sektor swasta", Penyediaan
finansial yang kemungkinan berkesinambungan, pembangunan infrastruktur ekonomi
dalam rangka memperbaiki iklim investasi, promosi industri pendukung dan
perusahaan kecil dan menengah, pembenahan berbagai sistem ekonomi dan reformasi
di sektor moneter. Bantuan untuk "Mewujudkan masyarakat yang demokratis
dan adil", Pengurangan kemiskinan (penciptaan lapangan kerja melalui
pembangunan desa pertanian dan nelayan, meningkatkan penghasilan dan
kesejahteraan, peningkatan pelayanan umum seperti pendidikan, kesehatan dan
fasilitas medis dan lain-lain), reformasi pemerintahan (reformasi penegak
hukum, reformasi kepolisian, otonomi daerah dan lain-lain), lingkungan hidup,
dan lain-lain. Bantuan terhadap "Perdamaian dan
Keamanan",
Penciptaan perdamaian, bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi, penjagaan keamanan (anti teror, anti bajak laut, penguatan sistem keamanan di laut) di Aceh, Maluku, Papua dan lain-lain. “ (www.id.emb-japan.go.jp , diakses 27 Januari 2012)
Penciptaan perdamaian, bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi, penjagaan keamanan (anti teror, anti bajak laut, penguatan sistem keamanan di laut) di Aceh, Maluku, Papua dan lain-lain. “ (www.id.emb-japan.go.jp , diakses 27 Januari 2012)
Piagam
ODA yang telah direvisi atas keputusan kabinet pada 29 Agustus 2003.[2]” ODA Jepang dilaksanakan sesuai dengan falsafah dan prinsip
yang tercantum dalam Piagam ODA. Berikut ini dijelaskan pokok-pokok utama dari
Piagam ODA Jepang, antara lain:
ODA Jepang bertujuan memberikan
kontribusi bagi perdamaian dan pembangunan komunitas internasional, dan dengan
demikian membantu menjamin keamanan dan kemakmuran Jepang sendiri.[3]
Kebijakan
dasar dari ODA antara lain, “Mendukung
usaha swadaya negara-negara yang sedang berkembang, Perspektif "keamanan
manusia"[4], Jaminan keadilan, dan Pemanfaatan pengalaman Jepang
dan keahlian.”[5]
Isu Prioritas ODA yaitu Pengentasan kemiskinan, Pertumbuhan yang berkesinambungan, Isu-isu global seperti berbagai masalah lingkungan, berbagai
penyakit infeksi, populasi, makanan, energi, bencana nasional, terorisme,
obat-obatan narkotika, kejahatan internasional, dll), dan Pembangunan perdamaian.[6]
ODA memiliki kawasan-kawasan
prioritas yaitu Asia sebagai kawasan yang menjalin
hubungan erat dengan baik dengan Jepang, merupakan
kawasan prioritas. ODA akan dipakai untuk membina hubungan yang lebih erat
dengan kawasan ini dan untuk membetulkan berbagai kesenjangan.
Prinsip pelaksanaan ODA sejalan
dengan falsafah yang dikemukakan di atas, ODA Jepang akan diberikan dengan
memasukkan dalam pertimbangan, yaitu berbagai kebutuhan akan bantuan di
negara-negara yang sedang berkembang, kondisi sosio-ekonomi, dan hubungan
bilateral Jepang dengan negara penerima bantuan, sesuai dengan prinsip Piagam
PBB (khususnya hak-hak kedaulatan, kesetaraan dan non-intervensi dalam urusan
dalam negeri), serta juga pokok-pokok berikut ini, yaitu:
1.
Lingkungan dan pembangunan akan
berjalan seiringan,
2.
Dihindari pemakaian ODA untuk
tujuan-tujuan kemiliteran atau untuk memperparah konflik,
3.
Perhatian penuh akan diberikan
terhadap trends dalam perbelanjaan kemiliteran, pengembangan/ produksi senjata
perusakan massal dan misil, ekspor/impor senjata di negara penerima serta
hal-hal lain di negara penerima, dan
4.
Perhatian penuh akan diberikan
terhadap usaha-usaha demokratisasi dan penerapan ekonomi pasar, dan
perlindungan hak-hak asasi manusia di negara penerima.”
Bantuan Oda
Jepang ke Indonesia sangat banyak dimulai dalam sektor transportasi, pertanian,
perkebunan, perikanan, informasi komunikasi, governance, pemerintah, masyarakat kota, penanggulangan bencana,
dan lain sebagainya.
Dari
itu semua maka dapat disimpulkan, Kerjasama
Jepang-Indonesia yang di wadahi oleh ODA (Official
Development Assistant) sudah ada sejak tahun 1954. Bantuan yang telah
diberikan Jepang kepada Indonesia berjumlah 29,5 milyar US
Dollar (total kumulatif sampai tahun 2006), telah berimplikasi pada proses
perkembangan pembangunan negara Indonesia khususnya di beberapa sektor penting
(sistem transportasi, sistem ekonomi, dan lain-lain. Hubungan kemitraan
ini dirasa cukup penting bagi kedua
Negara dimana ada peran kepentingan nasional yang berperan didalamnya. Serta
dalam meningkatkan hubungan diplomatic
bagi kedua Negara tersebut.
Adapun bantuan yang diberikan Jepang terhadap Indonesia, ada yang
berupa materi maupun non materi (hibah). Kepentingan Jepang perihal kerjasama
ini adalah untuk membuka pasar baru di kawasan Asia, yang di mana Indonesia
adalah salah satu pasar yang menjanjikan yang banyak jumlah penduduknya dan
kaya pula akan SDA nya, dalam hal ini pada cakupan sumber energi. Salah satu
isu yang paling sensitive bagi Jepang di Indonesia adalah soal energy security, dimana Jepang sangat
membutuhkan sekali sumber energi (raw
material) seperti minyak dan gas. Karena Jepang merupakan Negara konsumen
energi terbesar setelah Amerika.
Keuntungan ODA bukan hanya di dapatkan oleh Indonesia sebagai
Negara penerima bantuan, namun keuntungan pun dirasakan pula oleh Jepang dengan terbukanya lahan investasi di
Indonesia.
Dalam teori Realis, Bantuan
luar negeri akan tetap menjadi masalah yang mengundang pro kotra apabila hanya
bergerak pada ranah teknis/ekonomi dalam prakteknya. Yang di butuhkan adalah
integrasi dari foreign aid ke dalam kebijakan Negara penerima bantuan
(recipient country) dan dalam waktu yang sama dijaga oleh kondisi politik. Di
luar itu, kebijakan bantuan luar negeri tidak ada bedanya dengan dengan
kebijakan diplomatic atau propaganda. Semuanya adalah senjata politik bagi
sebuah Negara. (Morgenthau, 1962, p.309).
Masalah utama bagi usaha realis
dalam menjelaskan praktek foreign
aid adalah mereka menyangkal tujuan bantuan luar negeri adalah
untuk “menolong pembangunan sebuah Negara”, saat melakukannya, realis gagal
untuk meng-konstruk kerangka teoritis bagaimana seharusnya langkah-langkah yang
perlu di lakukan agar tujuan “helping countries develop” dapat tercapai. Realism
sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi foreign aid terhadap pembangunan
ekonomi. “Bantuan luar negeri untuk pembangunan ekonomi” dalam pandangan realis
hanyalah label
pada kebijakan Negara dalam mengejar power dan supremasi. Efektivitas bantuan
luar negeri bagi realism di evaluasi berdasarkan seberapa loyal Negara-negara
resipien kepada donor mereka. Bagaimanapun, dalam prakteknya, gambaran yang
lebih rumit dapat terlihat dalam praktek bantuan internasional di mana lebih
dari 20 donor terlibat dalam satu Negara yang membuat usaha penjelasan teoritis
diatas akan tergoncang.
Dan dalam
hal ini dapat kita simpulkan bahwa ODA Jepang meskipun bermaksud memberikan
banyak bantuan kepada Indonesia, tetap memiliki Self-interest untuk negaranya yaitu salah satunya untuk memajukan
dan meningkatkan power mereka di
kancah internasional, khususnya dalam hal ini dengan menjadikan Indonesia pasar
yang mampu meningkatkan ekonomi mereka.
Kenneth
Waltz mengatakan,” With many sovereign states,
with no system of law enforceable among them, with each state judging its
grievances and ambitions according to the dictates of its own reason or desire
– conflict, sometimes leading to war, is bound to occur”[7]
Itu sangat
menjelaskan bahwa setiap negara yang bersifat anarchy berpeluang untuk melakukan perang. Maka dari itu mereka
realism mengatakan bahwa mereka selalu berusaha meningkatkan power mereka dengan segala cara, seperti
yang dilakukan ODA Jepang meskipun mereka berniat untuk membantu, tetap saja
terdapat kepentingan Jepang dalam hal tersebut yang sudah tentu powernya lebih
besar dari Indonesia.
Jadi, ODA
Jepang adalah suatu kebijakan luar negeri yang dilakukan Jepang,” upaya suatu
negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitas-aktivitasnya untuk mengatasi dan
memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya.”[8]
Daftar Pustaka
www.nindja.org
www.id.emb-japan.go.jp
“ODA Charter”,
The Reality of Aid Asia-Pasific, 2005
Richard W.
Mansbach and Kirsten L. Rafferty “Realism and The Condition of Anarchy”,
Introduction to Global Politics , Firse Published, 2008, hal. 255
James N.
Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson.1976. World Politics: An Introduction.
New York: The Free Press, hal 27
[1]
dalam bentuk penerimaan
trainee untuk mendapatkan pelatihan di bidang industri, komunikasi transportasi,
pertanian dan kesehatan. Bantuan ODA Jepang yang telah memberikan kontribusi
besar melalui di bidang pengembangan SDM, pembangunan infrastruktur sosial
ekonomi. Misalnya, pada saat krisis ekonomi melanda Asia sejak Agustus 1997,
Jepang membantu Indonesia yang sedang berusaha keluar dari krisis dalam bentuk
pinjaman khusus, perpanjangan kewajiban pembayaran, dukungan strategi
pemerintah, dan lain-lain. Begitu pula ketika gempa besar dan tsunami dari
lautan Hindia melanda pulau Sumatera pada Desember 2004, Jepang menyediakan
dana rekonstruksi dan rehabilitasi untuk korban bencana sebesar 640 juta US
Dollar. Selama ini, secara kumulatif, bantuan Jepang kepada Indonesia berjumlah
29,5 milyar US Dollar (total kumulatif sampai tahun 2006), oleh karena itu,
bagi Indonesia, Jepang adalah negara donor terbesar, demikian juga bagi Jepang,
Indonesia adalah negara penerima bantuan terbesar. Dengan latar belakang
inilah, Jepang dan Indonesia telah memupuk persahabatan selama setengah abad,
kedua negara ini telah menjadi mitra penting secara timbal balik. (www.id.emb-japan.go.jp
, diakses 27 Januari 2012)
[3]
“ODA Charter”, The Reality of Aid Asia-Pasific, 2005 hal.8
[4]
Yang berfokus pada individu
[6]
“ODA Charter”, The Reality of Aid Asia-Pasific, 2005 hal. 10-11
[7]
Richard W. Mansbach and Kirsten L. Rafferty “Realism and The Condition of
Anarchy”, Introduction to Global Politics , Firse Published, 2008, hal. 255
[8]
James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An
Introduction. New York: The Free Press, hal 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar