Welcome to My Imagine, "LOVE is Wonderful STORY"

Sabtu, 28 Desember 2013

ODA (Official Development Assistance) Proses dan Perkembangan ODA Jepang di Indonesia

ODA (Official Development Assistance)
Proses dan Perkembangan ODA Jepang di Indonesia
Oleh: Yessica E. Daryanto (1010412028)
Jumlah kata: 2.734
Japan’s International Official Development Assistance atau ODA, merupakan sebuah landasan dalam menggariskan kebijakan negara Jepang di dalam memberikan bantuan bagi negara-negara yang sedang berkembang. Sejalan dengan kebijakan yang telah digariskan oleh ODA serta pembangunannya di Indonesia, khususnya di dalam pembangunan ekonomi makro dan stabilitas politik, yaitu upayanya dalam mengurangi angka kemiskinan bagi Indonesia pada tahun 2004. Sesuai di dalam amandemen Piagam ODA, bahwa tujuan ODA adalah untuk menyumbangkan kedamaian dan pembangunan komunitas internasional dan untuk membantu memastikan keamanan dan kemakmuran Jepang. Jepang akan menjalankan ODA secara lebih strategis lagi, lewat peningkatan proyek-proyek ODA yang memprioritaskan keuntungan bagi Jepang daripada yang bermanfaat bagi rakyat di negara-negara penerima bantuan ( www.nindja.org diakses 27 Januari 2012).
Kerjasama yang tersedia melalui ODA adalah dalam bentuk:
1.       Hibah Bilateral
2.       Pinjaman Bilateral atau Yen Loan, dan
3.       Investasi/ kontribusi bagi organisasi internasional

Tujuan bantuan hibah ODA sendiri adalah pengembangan kerjasama ekonomi sosial dengan membantu pemerintah negara penerima bantuan untuk peningkatan fasilitas. Jenis bantuan hibah adalah sebagai berikut:
a.      Hibah Umum, yaitu berupa hibah proyek umum (untuk kesejahteraan anak, penghijauan, rehabilitasi hutan, pengembangan SDM), hibah untuk penanganan hutang (debt relief grants), hibah non proyek (seperti hibah program sektoral  untuk pengembangan lingkungan dan sosial) dan hibah untuk beasiswa ke Jepang .
b.      Hibah untuk sektor perikanan.
c.       Hibah budaya.
d.     Hibah darurat.
e.      Bantuan pangan.
f.        Bantuan peningkatan produksi pangan.

Bantuan ODA Jepang di Indonesia dimulai dari tahun 1954.[1] Sistem bantuan ODA Jepang ke Indonesia “adalah Selama ini Jepang telah memberikan berbagai bantuan terhadap negara-negara berkembang, seperti bantuan dana dan teknik yang dibutuhkan dalam membangun sosial ekonominya. Selain itu Jepang juga membantu apabila suatu negara yang terkena bencana, misalnya Indonesia ketika Oktober lalu mengalami gempa bumi yang terjadi di Padang, Sumatera Barat. Pemerintah Jepang memberikan bantuan tanggap darurat terdiri dari  tenda 100 buah, selimut 1500 helai, matras tidur 900 buah, genset 80 buah, kabel gulung besar 80 buah, alat water-purifying 35 buah, dengan jumlah senilai 25 juta Yen (2,5 milyar rupiah). Bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Jepang sebagai pelaku utama, kita sebut ODA (Official Development Assistance) – Bantuan Pembangunan Pemerintah. Pinjaman Yen: Pinjaman Yen adalah, pinjaman dana dengan persyaratan ringan, yaitu berjangka panjang dan berbunga rendah, yang dibutuhkan negara berkembang, dalam rangka menata fondasi sosial ekonominya, yang akan menjadi dasar dari pembangunan. Pinjaman Yen ini dilaksanakan melalui, Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Bantuan Dana Hibah: Bantuan dana hibah yang dimaksud disini adalah bantuan dana yang tidak disertai dengan kewajiban untuk membayar kembali. Kerjasama Teknik: Kerjasama teknik adalah kerjasama yang diberikan untuk membantu pengembangan SDM di negara-negara berkembang. Tujuannya adalah agar setiap SDM suatu negara dapat berkembang di dalam mengembangkan sosial ekonominya. Oleh karena itu Jepang menerapkan cara dengan mengundang tenaga magang, mengirim tenaga ahli dan relawan, mengirim bantuan mesin dan peralatan, survey, atau kesemuanya ini tercakup dalam bentuk "Proyek Kerjasama Teknik" dan lain-lain. Kerjasama teknik ini dilaksanakan oleh suatu badan pemerintah independen yang bernama Japan International Cooperation Agency (JICA) (www.id.emb-japan.go.jp , diakses 27 Januari 2012)
Begitu banyaknya dinamika yang terjadi di dalam hubungan antara Indonesia dan Jepang, dimulai dari peran Jepang 50 tahun yang lalu. Berawal dari bantuan pengiriman tenaga ahli Jepang ke Indonesia membuat hubungan bilateral Indonesia-Jepang menjadi sangat erat. Program bantuan ODA Jepang untuk Indonesia lebih fokus kepada peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan berbagai sektor lainnya.
Dari permasalahan di atas, maka rumusan yang dapat diambil adalah :
ODA (Official Development Assistance):
Bagaimanakah Proses dan Perkembangan Bantuan ODA Jepang ke Indonesia?
Realism dan Foreign Aid membahas Sistem internasional yang anarki menciptakan kebebasan otonomis diantara negara-negara. Hal tersebut membuat sebuah sistem internasional yang terdesentralisasi dimana setiap Negara adalah berdaulat, menggunakan power mereka diatas sebuah “defined territory, a population and a government” (Sorensen, 2004. P. 17), saat terlibat pada hubungan/permainan power politik dengan Negara lainnya. Dalam setting seperti ini, bantuan internasional/bantuan luar negeri (foreign aid) praktis hanya menjadi sebuah alat kebijakan untuk mencapai kepentingan nasional. Alat kebijakan ini dalam pandangan realis dilihat sebagai sebuah hasil dari perang dingin yang digunakan dalam kompetisi diantara kekuatan great power. Bantuan internasional di pandang sebagai sebuah senjata kunci dalam perang dingin untuk memperbesar kemungkinan beraliansinya Negara-negara dunia ketiga kedalam salah satu kubu great power. Namun, setelah melihat output  dari war world II, dirasa perlu untuk memutar balik arus kebijakan dari hard power  ke soft diplomacy action. seperti menjalin hubungan kerjasama bilateral, multilateral, maupun triangular dengan fokus bidang ekonomi, perdagangan dan investasi, kesehatan, kebudayaan, pendidikan, bantuan teknik dan lain-lain. Hal tersebut seolah-olah dilrasakan penting oleh setiap Negara untuk menjalankan kebijakan politik dalam negerinya agar terciptanya stabilitas politik.  Motivasi politik itulah yang menurut morghentau menjadi hal yang di pertimbangkan oleh donor saat memberikan bantuan luar negeri (Hattori, 2002, p.642).
Kehadiran bantuan internasional dianggap sebagai sebuah instrument kebijakan sejak adanya kepentingan luar negeri yang tidak dapat di amankan dengan penanganan militer dan untuk mendukung metode diplomacy yang sebenarnya “tradisional” namun dalam bungkus yang lebih pantas. Selain kegunaan bantuan internasional sebagai instrument untuk mendukung tujuan kebijakan luar negeri, dalam prakteknya muncul bahwa kebijakan bantuan luar negeri meng-cover pula banyak disparitas tujuan dan kegiatan, sebagai respon dari berbagai macam kebutuhan, yang terlihat maupun yang tidak terlihat, berhubungan maupun tidak berhubungan pada tujuan politik sebuah kebjakan luar negeri. (Morgenthau, 1962 , p.301)
Morghentau (1962), salah satu tokoh central realism, dalam artikelnya yang berjudul A Political Theory of Foreign Aid coba mengembangkan tipologi dari bantuan internasional. Ia mengidentifikasi lima tujuan kebijakan bantuan luar negeri, yaitu: military, prestige, humanitarian, economic, dan subsistence. Tipologi ini di angkat untuk mengorganisasikan kompleksitas kebijakan yang di labeli dengan nama “foreign aid”. Berdasarkan hal ini maka ada dua tipe strategi yang di gunakan untuk mendapatkan pengaruh: propaganda dan suap (propaganda and bribes). Sebagian besar tipe bantuan internasional yang di identifikasi bersifat politis, hanya sedikit yang sifatnya humanitarian foreign aid. Artinya, hal yang seharusnya bersifat non politis kemudian bersifat sangat politis ketika di letakkan dalam konteks politik.
Morghentau menolak argumentasi pendukung bantuan bahwa bantuan internasional sebenarnya di gunakan sebagai instrument penguat kapasitas demokrasi yang selanjutnya akan menjadi dasar terciptanya perdamaan dunia. Kelompok pendukung bantuan internasional mengatakan: “correlations between the infusion of capital and technology into a primitive society and its economic development, between economic development and social stability, between social stability and democratic institutions, between democratic institutions and a peaceful foreign policy”.
Morghentau berpendapat bahwa korelasi yang di ungkapkan tidak memiliki dasar pada praktek-praktek bantuan hingga tahun 1962. Untuk memperkuat pendapatnya ia menggunakan argument kebudayaan, the Burmese example yang mengatakan kesuksesan terjadi pada sebuah dunia karena kesuksesan itu berdiri menghalangi kesuksesan dunia yang lain, sebuah kisah yang mengambarkan hubungan antara kebudayaan dengan laju pembangunan era industrialis. Dalam pandangannya, bantuan internasional bukannya menghasilkan peningkatan pembangunan, namun justru menjadi alat pelayanan kepentingan masyarakat precapitalistic atau prerational.
Dalam konteks pembangunan ekonomi, bantuan internasional seringkali kurang sukses. namun bagi para pendukungnya kesuksesan bantuan internasional tidak hanya berdasarkan pada hal-hal yang secara tegas berhubungan dengan ekonomi, namun lebih kepada prakondisi intelektual, moral dan politik yang secara langsung tidak berhubungan dengan manupulasi ekonomi, jikapun berhubungan hanya pada bagian kulit manipulasi ekonominya saja. (Morgenthau, 1962, p.307) hal penting yang coba di katakan oleh realis adalah bagaimana pengaruh praktek bantuan internasional terhadap penipisan konsep kedaulatan.
Bantuan luar negeri akan tetap menjadi masalah yang mengundang pro kotra apabila hanya bergerak pada ranah teknis/ekonomi dalam prakteknya. Yang di butuhkan adalah integrasi dari foreign aid ke dalam kebijakan Negara penerima bantuan (recipient country) dan dalam waktu yang sama dijaga oleh kondisi politik. Di luar itu, kebijakan bantuan luar negeri tidak ada bedanya dengan dengan kebijakan diplomatic atau propaganda. Semuanya adalah senjata politik bagi sebuah Negara. (Morgenthau, 1962, p.309).
Masalah utama bagi usaha realis dalam menjelaskan praktek foreign aid adalah mereka menyangkal tujuan bantuan luar negeri adalah untuk “menolong pembangunan sebuah Negara”, saat melakukannya, realis gagal untuk meng-konstruk kerangka teoritis bagaimana seharusnya langkah-langkah yang perlu di lakukan agar tujuan “helping countries develop” dapat tercapai. Realism sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi foreign aid terhadap pembangunan ekonomi. “Bantuan luar negeri untuk pembangunan ekonomi” dalam pandangan realis hanyalah label pada kebijakan Negara dalam mengejar power dan supremasi. Efektivitas bantuan luar negeri bagi realism di evaluasi berdasarkan seberapa loyal Negara-negara resipien kepada donor mereka. Bagaimanapun, dalam prakteknya, gambaran yang lebih rumit dapat terlihat dalam praktek bantuan internasional di mana lebih dari 20 donor terlibat dalam satu Negara yang membuat usaha penjelasan teoritis diatas akan tergoncang.
Transformasi dari rezim internasional untuk bantuan luar negeri dalam satu dekade terakhir membuat pemahaman realis tidak banyak berguna dalam beberapa kasus, contohnya praktek bantuan yang di lakukan melalui mekanisme institusi multilateral. Model intitusi seperti ini lebih terlihat independen dari kepentingan-kepentingan donor. Hal ini bertolak belakang dengan rekomendasi Morghentau tentang bantuan luar negeri, bantuan untuk pembangunan ekonomi telah memunculkan harapan baru dalam konteks pembangunan ekonomi di Negara-negara miskin dan berkembang. Ekspektasi atas konteks baru inilah yang harus di jawab dan di jelaskan oleh teori hubungan internasional di mana realism telah gagal melakukannya. (civiculture.wordpress.com , diakses 27 Januari 2012)
Sektor prioritas dan kebijakan dasar dan bantuan ODA Jepang ke Indonesia ” Pemerintah Jepang telah menetapkan 3 (tiga) pilar utama dalam membantu Indonesia dalam proses kemandiriannya yang ditetapkan bulan November tahun 2004. Berikut 3 (tiga) pilar utamanya, antara lain: Bantuan untuk mewujudkan, "Pertumbuhan yang berkesinambungan oleh sektor swasta", Penyediaan finansial yang kemungkinan berkesinambungan, pembangunan infrastruktur ekonomi dalam rangka memperbaiki iklim investasi, promosi industri pendukung dan perusahaan kecil dan menengah, pembenahan berbagai sistem ekonomi dan reformasi di sektor moneter. Bantuan untuk "Mewujudkan masyarakat yang demokratis dan adil", Pengurangan kemiskinan (penciptaan lapangan kerja melalui pembangunan desa pertanian dan nelayan, meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan, peningkatan pelayanan umum seperti pendidikan, kesehatan dan fasilitas medis dan lain-lain), reformasi pemerintahan (reformasi penegak hukum, reformasi kepolisian, otonomi daerah dan lain-lain), lingkungan hidup, dan lain-lain. Bantuan terhadap "Perdamaian dan Keamanan",
Penciptaan perdamaian, bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi, penjagaan keamanan (anti teror, anti bajak laut, penguatan sistem keamanan di laut) di Aceh, Maluku, Papua dan lain-lain.
“ (www.id.emb-japan.go.jp , diakses 27 Januari 2012)
Piagam ODA yang telah direvisi atas keputusan kabinet pada 29 Agustus 2003.[2] ODA Jepang dilaksanakan sesuai dengan falsafah dan prinsip yang tercantum dalam Piagam ODA. Berikut ini dijelaskan pokok-pokok utama dari Piagam ODA Jepang, antara lain:
ODA Jepang bertujuan memberikan kontribusi bagi perdamaian dan pembangunan komunitas internasional, dan dengan demikian membantu menjamin keamanan dan kemakmuran Jepang sendiri.[3]
            Kebijakan dasar dari ODA antara lain, “Mendukung usaha swadaya negara-negara yang sedang berkembang, Perspektif "keamanan manusia"[4],  Jaminan keadilan, dan Pemanfaatan pengalaman Jepang dan keahlian.”[5]
Isu Prioritas ODA yaitu Pengentasan kemiskinan, Pertumbuhan yang berkesinambungan, Isu-isu global seperti berbagai masalah lingkungan, berbagai penyakit infeksi, populasi, makanan, energi, bencana nasional, terorisme, obat-obatan narkotika, kejahatan internasional, dll), dan Pembangunan perdamaian.[6]
ODA memiliki kawasan-kawasan prioritas yaitu Asia sebagai kawasan yang menjalin hubungan erat dengan baik dengan Jepang, merupakan kawasan prioritas. ODA akan dipakai untuk membina hubungan yang lebih erat dengan kawasan ini dan untuk membetulkan berbagai kesenjangan.
            Prinsip pelaksanaan ODA sejalan dengan falsafah yang dikemukakan di atas, ODA Jepang akan diberikan dengan memasukkan dalam pertimbangan, yaitu berbagai kebutuhan akan bantuan di negara-negara yang sedang berkembang, kondisi sosio-ekonomi, dan hubungan bilateral Jepang dengan negara penerima bantuan, sesuai dengan prinsip Piagam PBB (khususnya hak-hak kedaulatan, kesetaraan dan non-intervensi dalam urusan dalam negeri), serta juga pokok-pokok berikut ini, yaitu:
1.      Lingkungan dan pembangunan akan berjalan seiringan,
2.      Dihindari pemakaian ODA untuk tujuan-tujuan kemiliteran atau untuk memperparah konflik,
3.      Perhatian penuh akan diberikan terhadap trends dalam perbelanjaan kemiliteran, pengembangan/ produksi senjata perusakan massal dan misil, ekspor/impor senjata di negara penerima serta hal-hal lain di negara penerima, dan
4.      Perhatian penuh akan diberikan terhadap usaha-usaha demokratisasi dan penerapan ekonomi pasar, dan perlindungan hak-hak asasi manusia di negara penerima.”
Bantuan Oda Jepang ke Indonesia sangat banyak dimulai dalam sektor transportasi, pertanian, perkebunan, perikanan, informasi komunikasi, governance, pemerintah, masyarakat kota, penanggulangan bencana, dan lain sebagainya.
Dari itu semua maka dapat disimpulkan, Kerjasama Jepang-Indonesia yang di wadahi oleh ODA (Official Development Assistant) sudah ada sejak tahun 1954. Bantuan yang telah diberikan Jepang kepada Indonesia berjumlah 29,5 milyar US Dollar (total kumulatif sampai tahun 2006), telah berimplikasi pada proses perkembangan pembangunan negara Indonesia khususnya di beberapa sektor penting (sistem transportasi, sistem ekonomi, dan lain-lain. Hubungan kemitraan ini  dirasa cukup penting bagi kedua Negara dimana ada peran kepentingan nasional yang berperan didalamnya. Serta dalam meningkatkan hubungan diplomatic bagi kedua Negara tersebut.
Adapun bantuan yang diberikan Jepang terhadap Indonesia, ada yang berupa materi maupun non materi (hibah). Kepentingan Jepang perihal kerjasama ini adalah untuk membuka pasar baru di kawasan Asia, yang di mana Indonesia adalah salah satu pasar yang menjanjikan yang banyak jumlah penduduknya dan kaya pula akan SDA nya, dalam hal ini pada cakupan sumber energi. Salah satu isu yang paling sensitive bagi Jepang di Indonesia adalah soal energy security, dimana Jepang sangat membutuhkan sekali sumber energi (raw material) seperti minyak dan gas. Karena Jepang merupakan Negara konsumen energi terbesar setelah Amerika.
Keuntungan ODA bukan hanya di dapatkan oleh Indonesia sebagai Negara penerima bantuan, namun keuntungan pun dirasakan pula oleh  Jepang dengan terbukanya lahan investasi di Indonesia.
Dalam teori Realis, Bantuan luar negeri akan tetap menjadi masalah yang mengundang pro kotra apabila hanya bergerak pada ranah teknis/ekonomi dalam prakteknya. Yang di butuhkan adalah integrasi dari foreign aid ke dalam kebijakan Negara penerima bantuan (recipient country) dan dalam waktu yang sama dijaga oleh kondisi politik. Di luar itu, kebijakan bantuan luar negeri tidak ada bedanya dengan dengan kebijakan diplomatic atau propaganda. Semuanya adalah senjata politik bagi sebuah Negara. (Morgenthau, 1962, p.309).
Masalah utama bagi usaha realis dalam menjelaskan praktek foreign aid adalah mereka menyangkal tujuan bantuan luar negeri adalah untuk “menolong pembangunan sebuah Negara”, saat melakukannya, realis gagal untuk meng-konstruk kerangka teoritis bagaimana seharusnya langkah-langkah yang perlu di lakukan agar tujuan “helping countries develop” dapat tercapai. Realism sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi foreign aid terhadap pembangunan ekonomi. “Bantuan luar negeri untuk pembangunan ekonomi” dalam pandangan realis hanyalah label pada kebijakan Negara dalam mengejar power dan supremasi. Efektivitas bantuan luar negeri bagi realism di evaluasi berdasarkan seberapa loyal Negara-negara resipien kepada donor mereka. Bagaimanapun, dalam prakteknya, gambaran yang lebih rumit dapat terlihat dalam praktek bantuan internasional di mana lebih dari 20 donor terlibat dalam satu Negara yang membuat usaha penjelasan teoritis diatas akan tergoncang.
Dan dalam hal ini dapat kita simpulkan bahwa ODA Jepang meskipun bermaksud memberikan banyak bantuan kepada Indonesia, tetap memiliki Self-interest untuk negaranya yaitu salah satunya untuk memajukan dan meningkatkan power mereka di kancah internasional, khususnya dalam hal ini dengan menjadikan Indonesia pasar yang mampu meningkatkan ekonomi mereka.
Kenneth Waltz mengatakan,” With many sovereign states, with no system of law enforceable among them, with each state judging its grievances and ambitions according to the dictates of its own reason or desire – conflict, sometimes leading to war, is bound to occur”[7]
Itu sangat menjelaskan bahwa setiap negara yang bersifat anarchy berpeluang untuk melakukan perang. Maka dari itu mereka realism mengatakan bahwa mereka selalu berusaha meningkatkan power mereka dengan segala cara, seperti yang dilakukan ODA Jepang meskipun mereka berniat untuk membantu, tetap saja terdapat kepentingan Jepang dalam hal tersebut yang sudah tentu powernya lebih besar dari Indonesia.
Jadi, ODA Jepang adalah suatu kebijakan luar negeri yang dilakukan Jepang,” upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitas-aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya.”[8]



Daftar Pustaka
www.nindja.org
www.id.emb-japan.go.jp
“ODA Charter”, The Reality of Aid Asia-Pasific, 2005
Richard W. Mansbach and Kirsten L. Rafferty “Realism and The Condition of Anarchy”, Introduction to Global Politics , Firse Published, 2008, hal. 255
James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson.1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free Press, hal 27




[1] dalam bentuk penerimaan trainee untuk mendapatkan pelatihan di bidang industri, komunikasi transportasi, pertanian dan kesehatan. Bantuan ODA Jepang yang telah memberikan kontribusi besar melalui di bidang pengembangan SDM, pembangunan infrastruktur sosial ekonomi. Misalnya, pada saat krisis ekonomi melanda Asia sejak Agustus 1997, Jepang membantu Indonesia yang sedang berusaha keluar dari krisis dalam bentuk pinjaman khusus, perpanjangan kewajiban pembayaran, dukungan strategi pemerintah, dan lain-lain. Begitu pula ketika gempa besar dan tsunami dari lautan Hindia melanda pulau Sumatera pada Desember 2004, Jepang menyediakan dana rekonstruksi dan rehabilitasi untuk korban bencana sebesar 640 juta US Dollar. Selama ini, secara kumulatif, bantuan Jepang kepada Indonesia berjumlah 29,5 milyar US Dollar (total kumulatif sampai tahun 2006), oleh karena itu, bagi Indonesia, Jepang adalah negara donor terbesar, demikian juga bagi Jepang, Indonesia adalah negara penerima bantuan terbesar. Dengan latar belakang inilah, Jepang dan Indonesia telah memupuk persahabatan selama setengah abad, kedua negara ini telah menjadi mitra penting secara timbal balik. (www.id.emb-japan.go.jp , diakses 27 Januari 2012)

[2] www.id.emb-japan.go.jp diakses tanggal 27 Januari 2012
[3] “ODA Charter”, The Reality of Aid Asia-Pasific, 2005 hal.8
[4] Yang berfokus pada individu
[6] “ODA Charter”, The Reality of Aid Asia-Pasific, 2005 hal. 10-11
[7] Richard W. Mansbach and Kirsten L. Rafferty “Realism and The Condition of Anarchy”, Introduction to Global Politics , Firse Published, 2008, hal. 255
[8] James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free Press, hal 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar