Tugas UAS Keamanan Internasional
Perubahan Konflik Kemanusiaan
Menjadi Isu Keamanan Internasional
Pengungsi Muslim Rohingya
Oleh : Yessica E. Daryanto
1010412028
Dalam paper ini saya akan membahas tentang
kasus pengungsi muslim Rohingya yang merupakan isu keamanan internasional dan
memiliki dampak yang signifikan pada keamanan global. Kasus kemanusiaan muslim
Rohingya yang terjadi di Myanmar membuat para penduduk muslim Rohingya yang
menjadi korban kemanusiaan di Myanmar melakukan migrasi besar-besaran dan
menjadi pengungsi di negara-negara lain yang berdekatan dengan negara Myanmar
untuk memperoleh bantuan dan dukungan.
Etnis Rohingya merupakan salah satu
konflik terbesar dalam sejarah pemerintahan Myanmar, konflik Rohingya ini
bermula terjadi antara etnis Rohingya dengan pemerintahan Junta militer
Myanmar. Pemerintah Junta militer tidak menganggap etnis yang berada di wilayah
Rakhine ini sebagai salah satu etnis yang berada di Myanmar. Dengan tidak
diakuinya Rohingya sebagai salah satu etnis Myanmar dan mendapatkan tekanan
dari pemerintah Junta Militer, etnis rohingya mengungsi dengan melarikan diri
dari tekanan para pihak Junta Militer.[1]
Sejak puluhan tahun lalu, ratusan
ribu kaum muslimin Rohingya melarikan diri ke Bangladesh disebabkan kekejaman
pemerintahan Burma dan penganut Buddha terhadap mereka, Selain Bangladesh
mereka juga melarikan diri ke Pakistan, Arab Saudi, UAE, Thailand, dan Malaysia
untuk berlindung dan sebagian besar dari mereka masih berstatus pelarian hingga
kini.[2]
Dari semua penjelasan di atas kita
dapat melihat bahwa kasus kemanusiaan etnis muslim Rohingya membuat isu yang
tadinya merupakan kasus kemanusiaan menjadi isu keamanan internasional. Ini
dikarenakan awal mula penindasan etnis Rohingya yang tidak diakui
kewarganegaraannya oleh pemerintahan Myanmar membuat masyarakat atau etnis
Rohingya itu melarikan diri lalu menjadi pengungsi di berbagai negara yang
terdekat dengan negara Myanmar sebagai contoh ke Bangladesh hal tersebut tentu
saja membuat kasus yang semula merupakan kasus internal antara etnis Rohingya
dengan pemerintah Myanmar menjadi kasus keamanan internasional karena
melibatkan negara-negara lain baik sebagai tempat pelarian atau tempat
pengungsian sehingga tentu saja akan mengganggu stabilitasi negara-negara lain.
Migrasi dapat menimbulkan ancaman
bagi masyarakat dan pemerintah untuk pengiriman dan penerimaan negara, dan
hubungan antara kedua negara. Hal ini dapat mengubah perang saudara menjadi
konflik internasional dan dapat menyebabkan penyebaran konflik etnis dan
kerusuhan sipil dari satu negara ke negara lain.[3]
Migrasi paksa atau dipaksa mengacu pada dasarnya untuk arus pengungsi, di mana
karena alasan bencana alam, perang, perang sipil, etnis, agama atau politik
orang penganiayaan dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka.[4]
Apa yang dilakukan pengungsi-pengungsi etnis muslim Rohingya merupakan migrasi
atau population movement yang terjadi karena adanya keterpaksaan akibat
penindasan etnis dan kasus kemanusiaan yang dilakukan Junta Militer Myanmar.
Sekuritisasi dapat diartikan sebagai
versi ekstrim dari politisasi.[5]
Dalam hal dan kasus Rohingya ini kasus kemanusiaan disekuritisasi menjadi isu
keamanan internasional yang dimaksud ketika suatu masalah dapat dilihat sebagai
masalah keamanan internasional melalui suatu proses politik. Seperti yang
dikemukakan oleh Konstrutivisme, keamanan juga dilihat sebagai suatu hal yang
dikonstruksikan, bukan merupakan suatu hal yang mutlak adanya. Politisasi isu
yang dilakukan aktor menyebabkan isu yang tadinya bukan merupakan isu keamanan
berubah menjadi isu yang mengancam dan membutuhkan agenda nasional untuk
mengatasinya. Melalui sekuritisasi, terjadi pergeseran isu dari yang mulanya
hanya isu politik biasa, menjadi isu yang diasumsikan urgent dan butuh
penanganan cepat bahkan tanpa peraturan normal dan aturan-aturan pembuatan
keputusan lainnya.[6]
Selain negara-negara yang menjadi
tempat pengungsian etnis Rohingya yang mengangkat isu kemanusiaan ini menjadi
isu keamanan internasional seperti Bangladesh contohnya, negara-negara lain
yang berbatasan langsung dengan Myanmar atau berada dalam satu regional yaitu
ASEAN, ada negara-negara lain yang ikut terlibat dalam mengangkat isu
kemanusiaan ini menjadi isu keamanan. Itu dikarenakan negara-negara tersebut
mempunyai kepentingan untuk meningkatkan power dan mencapai kepentingan
nasional negara mereka.
Seperti Amerika Serikat dan China
yang merasa negara-negara ASEAN menjadi kawasan yang sangat penting dalam
meningkatkan powernya baik secara ekonomi maupun militer, sebagai contoh
memperoleh aliansi dalam konflik Laut China Selatan. Sudah banyak yang
dilakukan oleh Amerika salah satunya adalah melakukan demokratisasi terhadap
negara-negara yang menjadi tujuannya demi mencapai kepentingan nasional yang negaranya
inginkan.
“Sekarang kondisinya sudah berbeda,
demokratisasi meski masih setengah hati, dengan bukti Pemilu 2010, membuat
Myanmar menjadi terbuka. Bukti keterbukaan itu adalah kunjungan Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton ke Myanmar yang diagendakan pada
30 November 2011 ini. Bila kunjungan ini jadi, maka sebuah kunjungan pejabat
senior Amerika Serikat pertama setelah 50 tahun tak pernah dilakukan.”[7]
Hal yang akan dilakukan Hillary tentu sudah sangat jelas dengan keterlibatan
Amerika Serikat dan kepentingan Amerika Serikat dalam kasus dan konflik etnis
Rohingya yang dilakukan Myanmar, masuknya Amerika Serikat dalam hal ini membawa
isu kemanusiaan agar dapat mendemokratisasikan Myanmar adalah salah satu upaya
Amerika dalam hal memperkuat powernya di Asia Tenggara.
Selain
itu terdapat aktor lain yang juga mengangkat serta mengambil keuntungan dalam
konflik kemanusiaan etnis Rohingya tersebut yaitu China. “Tantangan Aung San Suu Kyi yang lain adalah, bahwa pemilu di Myanmar
yang akan berlangsung juga akan menjadi pertarungan antara China dan Amerika
Serikat. Meski Myanmar diantara negara-negara ASEAN tidak sestrategis
Indonesia, namun sekarang China dan Amerika Serikat berlomba-lomba mendekati
negara-negara di kawasan ini.”[8]
Baik China dan Amerika Serikat memandang kawasan Asia Tenggara memiliki potensi
yang tinggi untuk pasar ekonomi dan perdagangan serta sumber daya alam. Potensi
inilah yang memicu China, khususnya, untuk melakukan tindakan-tindakan
ekspansif. Tindakan China ini rupanya tidak hanya mengganggu beberapa negara
ASEAN namun juga mengancam kepentingan Amerika Serikat di Asia Tenggara dan
Asia Timur.[9]
Dari penjelasan-penjelasan itu dapat
dilihat bagaimana kasus atau konflik kemanusiaan yang terjadi di Myanmar
terhadap etnis Rohingya membuat negara-negara lain berupaya untuk mengambil
keuntungan demi mencapai kepentingan nasionalnya seperti yang dilakukan oleh
Amerika Serikat dan China. Mereka dalam proses penyelesaian kasus kemanusiaan
yang telah tersekuritisasi menjadi kasus keamanan internasional berlomba-lomba
untuk menyelesaikan konflik dan menjadikan Myanmar sebagai aliansi yang dapat
memperkuat power mereka di kawasan Asia Tenggara.
Cara lain yang dilakukan China –
Amerika dalam upaya meningkatkan powernya melalui Myanmar yaitu “Langkah
selanjutnya China dan Amerika Serikat adalah berebut mendekati Myanmar. Tentu
baik China dan Amerika Serikat akan mendukung pemimpin Myanmar terpilih yang pro
kepada dirinya. Hal ini sudah dilakukan oleh Wakil Presiden China Xin Jiping
bertemu dengan petinggi militer di Myanmar.”[10] “Demokrasi
yang tidak terlalu penting bagi China juga menjadi landasan China tidak akan
mendukung Aung San Suu Kyi. Investasi China yang dominan dirasa China akan
berbahaya bila ada demokratisasi di Myanmar.”[11] “Sementara itu, Amerika Serikat sebagai negara yang
selalu mengkampanyekan demokratisasi pasti akan mendukung kelompok-kelompok
didukung rakyat Myanmar. Namun yang lebih penting bagi Amerika Serikat di
Myanmar adalah terpilihnya pemimpin Myanmar yang anti-China.”[12]
Semua itu akan terus dilakukan oleh China dan Amerika sampai mereka dapat
mencapai kepentingan nasionalnya dalam meningkatkan power dan hegemoninya baik
di kawasan atau global.
Kesimpulan
dari konflik kemanusiaan etnis muslim Rohingya ini adalah, suatu konflik
internal dapat menjadi suatu isu keamanan internasional dengan cara
mensekuritisasikan isu itu masuk ke ranah keamanan, selain itu konflik internal
di Myanmar atas etnis Rohingya akan menjadi isu keamanan jika melibatkan negara
lain dan dapat mengganggu stabilitasi negara tersebut seperti contohnya
pengungsi-pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh yang tentu saja akan
mengganggu stabilitas Bangladesh. Dalam proses sekuritisasi juga terdapat
aktor-aktor yang dapat mengangkat isu pengungsi itu menjadi isu keamanan baik
negara yang dijadikan tempat pengungsian maupun negara-negara lain yang
mempunyai kepentingan nasional dengan cara mengambil keuntungan atas terjadinya
isu tersebut contohnya seperti Amerika Serikat dan China.
[1] http://ebookbrowse.com/peran-unhcr-dalam-menangani-pengungsi-myanmar-etnis-rohingya-di-bangladesh-pdf-d377689873 hal.40 diakses pada tanggal 16 Juni 2013
pukul 12.54 WIB
[2]
Ibid hal. 43
[3] Sita Bali edited
Paul D. William,”Security Studies: An
Introduction : Population Movement””,
Routledge: First published, 2008 hal.471
[4]
Ibid hal.472
[5]
Barry Buzan, Ole Waever, Jaap de Wilde, Security : A New
Framework for Analysis, (London: Lynne Riener Publisher, 1998), hlm. 23
[6]
Rita
Taureck, Securitization Theory, presented at the 4th annual CEEISA
Convention, University of Tartu, 2006
[7] http://news.detik.com/read/2011/12/01/095710/1779810/103/pertarungan-amerika-serikat-dan-china-di-pemilu-myanmar
diakses pada tanggal 16 Juni 2013 pukul 14.20 WIB
[8]
Ibid
[9]
Ibid
[10]
Ibid
[11]
Ibid
[12]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar