Welcome to My Imagine, "LOVE is Wonderful STORY"

Sabtu, 28 Desember 2013

Perubahan Konflik Kemanusiaan Menjadi Isu Keamanan Internasional Pengungsi Muslim Rohingya

Tugas UAS Keamanan Internasional
Perubahan Konflik Kemanusiaan Menjadi Isu Keamanan Internasional
Pengungsi Muslim Rohingya
Oleh : Yessica E. Daryanto 1010412028
            Dalam paper ini saya akan membahas tentang kasus pengungsi muslim Rohingya yang merupakan isu keamanan internasional dan memiliki dampak yang signifikan pada keamanan global. Kasus kemanusiaan muslim Rohingya yang terjadi di Myanmar membuat para penduduk muslim Rohingya yang menjadi korban kemanusiaan di Myanmar melakukan migrasi besar-besaran dan menjadi pengungsi di negara-negara lain yang berdekatan dengan negara Myanmar untuk memperoleh bantuan dan dukungan.
            Etnis Rohingya merupakan salah satu konflik terbesar dalam sejarah pemerintahan Myanmar, konflik Rohingya ini bermula terjadi antara etnis Rohingya dengan pemerintahan Junta militer Myanmar. Pemerintah Junta militer tidak menganggap etnis yang berada di wilayah Rakhine ini sebagai salah satu etnis yang berada di Myanmar. Dengan tidak diakuinya Rohingya sebagai salah satu etnis Myanmar dan mendapatkan tekanan dari pemerintah Junta Militer, etnis rohingya mengungsi dengan melarikan diri dari tekanan para pihak Junta Militer.[1]       
            Sejak puluhan tahun lalu, ratusan ribu kaum muslimin Rohingya melarikan diri ke Bangladesh disebabkan kekejaman pemerintahan Burma dan penganut Buddha terhadap mereka, Selain Bangladesh mereka juga melarikan diri ke Pakistan, Arab Saudi, UAE, Thailand, dan Malaysia untuk berlindung dan sebagian besar dari mereka masih berstatus pelarian hingga kini.[2]
            Dari semua penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa kasus kemanusiaan etnis muslim Rohingya membuat isu yang tadinya merupakan kasus kemanusiaan menjadi isu keamanan internasional. Ini dikarenakan awal mula penindasan etnis Rohingya yang tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintahan Myanmar membuat masyarakat atau etnis Rohingya itu melarikan diri lalu menjadi pengungsi di berbagai negara yang terdekat dengan negara Myanmar sebagai contoh ke Bangladesh hal tersebut tentu saja membuat kasus yang semula merupakan kasus internal antara etnis Rohingya dengan pemerintah Myanmar menjadi kasus keamanan internasional karena melibatkan negara-negara lain baik sebagai tempat pelarian atau tempat pengungsian sehingga tentu saja akan mengganggu stabilitasi negara-negara lain.
            Migrasi dapat menimbulkan ancaman bagi masyarakat dan pemerintah untuk pengiriman dan penerimaan negara, dan hubungan antara kedua negara. Hal ini dapat mengubah perang saudara menjadi konflik internasional dan dapat menyebabkan penyebaran konflik etnis dan kerusuhan sipil dari satu negara ke negara lain.[3] Migrasi paksa atau dipaksa mengacu pada dasarnya untuk arus pengungsi, di mana karena alasan bencana alam, perang, perang sipil, etnis, agama atau politik orang penganiayaan dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka.[4] Apa yang dilakukan pengungsi-pengungsi etnis muslim Rohingya merupakan migrasi atau population movement yang terjadi karena adanya keterpaksaan akibat penindasan etnis dan kasus kemanusiaan yang dilakukan Junta Militer Myanmar.
            Sekuritisasi dapat diartikan sebagai versi ekstrim dari politisasi.[5] Dalam hal dan kasus Rohingya ini kasus kemanusiaan disekuritisasi menjadi isu keamanan internasional yang dimaksud ketika suatu masalah dapat dilihat sebagai masalah keamanan internasional melalui suatu proses politik. Seperti yang dikemukakan oleh Konstrutivisme, keamanan juga dilihat sebagai suatu hal yang dikonstruksikan, bukan merupakan suatu hal yang mutlak adanya. Politisasi isu yang dilakukan aktor menyebabkan isu yang tadinya bukan merupakan isu keamanan berubah menjadi isu yang mengancam dan membutuhkan agenda nasional untuk mengatasinya. Melalui sekuritisasi, terjadi pergeseran isu dari yang mulanya hanya isu politik biasa, menjadi isu yang diasumsikan urgent dan butuh penanganan cepat bahkan tanpa peraturan normal dan aturan-aturan pembuatan keputusan lainnya.[6]
            Selain negara-negara yang menjadi tempat pengungsian etnis Rohingya yang mengangkat isu kemanusiaan ini menjadi isu keamanan internasional seperti Bangladesh contohnya, negara-negara lain yang berbatasan langsung dengan Myanmar atau berada dalam satu regional yaitu ASEAN, ada negara-negara lain yang ikut terlibat dalam mengangkat isu kemanusiaan ini menjadi isu keamanan. Itu dikarenakan negara-negara tersebut mempunyai kepentingan untuk meningkatkan power dan mencapai kepentingan nasional negara mereka.
            Seperti Amerika Serikat dan China yang merasa negara-negara ASEAN menjadi kawasan yang sangat penting dalam meningkatkan powernya baik secara ekonomi maupun militer, sebagai contoh memperoleh aliansi dalam konflik Laut China Selatan. Sudah banyak yang dilakukan oleh Amerika salah satunya adalah melakukan demokratisasi terhadap negara-negara yang menjadi tujuannya demi mencapai kepentingan nasional yang negaranya inginkan.
            “Sekarang kondisinya sudah berbeda, demokratisasi meski masih setengah hati, dengan bukti Pemilu 2010, membuat Myanmar menjadi terbuka. Bukti keterbukaan itu adalah kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton ke Myanmar yang diagendakan pada 30 November 2011 ini. Bila kunjungan ini jadi, maka sebuah kunjungan pejabat senior Amerika Serikat pertama setelah 50 tahun tak pernah dilakukan.”[7] Hal yang akan dilakukan Hillary tentu sudah sangat jelas dengan keterlibatan Amerika Serikat dan kepentingan Amerika Serikat dalam kasus dan konflik etnis Rohingya yang dilakukan Myanmar, masuknya Amerika Serikat dalam hal ini membawa isu kemanusiaan agar dapat mendemokratisasikan Myanmar adalah salah satu upaya Amerika dalam hal memperkuat powernya di Asia Tenggara.
            Selain itu terdapat aktor lain yang juga mengangkat serta mengambil keuntungan dalam konflik kemanusiaan etnis Rohingya tersebut yaitu China. “Tantangan Aung San Suu Kyi yang lain adalah, bahwa pemilu di Myanmar yang akan berlangsung juga akan menjadi pertarungan antara China dan Amerika Serikat. Meski Myanmar diantara negara-negara ASEAN tidak sestrategis Indonesia, namun sekarang China dan Amerika Serikat berlomba-lomba mendekati negara-negara di kawasan ini.”[8] Baik China dan Amerika Serikat memandang kawasan Asia Tenggara memiliki potensi yang tinggi untuk pasar ekonomi dan perdagangan serta sumber daya alam. Potensi inilah yang memicu China, khususnya, untuk melakukan tindakan-tindakan ekspansif. Tindakan China ini rupanya tidak hanya mengganggu beberapa negara ASEAN namun juga mengancam kepentingan Amerika Serikat di Asia Tenggara dan Asia Timur.[9]
            Dari penjelasan-penjelasan itu dapat dilihat bagaimana kasus atau konflik kemanusiaan yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya membuat negara-negara lain berupaya untuk mengambil keuntungan demi mencapai kepentingan nasionalnya seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan China. Mereka dalam proses penyelesaian kasus kemanusiaan yang telah tersekuritisasi menjadi kasus keamanan internasional berlomba-lomba untuk menyelesaikan konflik dan menjadikan Myanmar sebagai aliansi yang dapat memperkuat power mereka di kawasan Asia Tenggara.
            Cara lain yang dilakukan China – Amerika dalam upaya meningkatkan powernya melalui Myanmar yaitu “Langkah selanjutnya China dan Amerika Serikat adalah berebut mendekati Myanmar. Tentu baik China dan Amerika Serikat akan mendukung pemimpin Myanmar terpilih yang pro kepada dirinya. Hal ini sudah dilakukan oleh Wakil Presiden China Xin Jiping bertemu dengan petinggi militer di Myanmar.”[10]Demokrasi yang tidak terlalu penting bagi China juga menjadi landasan China tidak akan mendukung Aung San Suu Kyi. Investasi China yang dominan dirasa China akan berbahaya bila ada demokratisasi di Myanmar.”[11]Sementara itu, Amerika Serikat sebagai negara yang selalu mengkampanyekan demokratisasi pasti akan mendukung kelompok-kelompok didukung rakyat Myanmar. Namun yang lebih penting bagi Amerika Serikat di Myanmar adalah terpilihnya pemimpin Myanmar yang anti-China.”[12] Semua itu akan terus dilakukan oleh China dan Amerika sampai mereka dapat mencapai kepentingan nasionalnya dalam meningkatkan power dan hegemoninya baik di kawasan atau global.
            Kesimpulan dari konflik kemanusiaan etnis muslim Rohingya ini adalah, suatu konflik internal dapat menjadi suatu isu keamanan internasional dengan cara mensekuritisasikan isu itu masuk ke ranah keamanan, selain itu konflik internal di Myanmar atas etnis Rohingya akan menjadi isu keamanan jika melibatkan negara lain dan dapat mengganggu stabilitasi negara tersebut seperti contohnya pengungsi-pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh yang tentu saja akan mengganggu stabilitas Bangladesh. Dalam proses sekuritisasi juga terdapat aktor-aktor yang dapat mengangkat isu pengungsi itu menjadi isu keamanan baik negara yang dijadikan tempat pengungsian maupun negara-negara lain yang mempunyai kepentingan nasional dengan cara mengambil keuntungan atas terjadinya isu tersebut contohnya seperti Amerika Serikat dan China.



[2] Ibid hal. 43
[3] Sita Bali edited Paul D. William,”Security Studies: An Introduction : Population Movement””, Routledge: First published, 2008 hal.471
[4] Ibid hal.472
[5] Barry Buzan, Ole Waever, Jaap de Wilde, Security : A New Framework for Analysis, (London: Lynne Riener Publisher, 1998), hlm. 23
[6] Rita Taureck, Securitization Theory, presented at the 4th annual CEEISA Convention, University of Tartu, 2006
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar