Hujan
oleh Yessica E. Daryanto
Aku
menyukai hujan, hujan yang jatuh berirama membentuk melodi yang indah saat
gemerciknya menyentuh aspal. Aku menyukai hujan yang membasahi bumi dan
menggemburkan tanah yang membiaskan harum yang sangat kusukai. Harum tanah
basah yang selalu membangkitkan gairah dan menyegarkan kepalaku. Tapi, itu dulu
saat hujan belum menghentak aku terjatuh dari mimpi indah. Itu dulu saat petir yang beriringan dengan hujan belum
meluluhlantahkan harapan dan angan kebahagiaanku.
Kini
aku begitu membenci hujan, saat hujan datang tak lagi aku mampu menikmati
alunan musik yang diciptakannya, tak mampu lagi kurasakan harmoni indahnya
hujan, tak ada lagi harum tanah yang basah yang mampu aku hirup dengan gairah
membahagiakan. Semua lenyap, berganti rasa ketakutan saat turun hujan. Dan aku
yang selalu bersembunyi di balik selimut, bawah meja atau apapun yang membuatku
merasa aman dari deru suara hujan. Aku selalu menggigil ketakutan, keringat
yang deras mengucur mengalahkan gigit dingin hujan yang merasuk ke dalam pori-poriku.
Dua
tahun sudah aku terkukung dalam rasa takut. Takut akan hujan, hujan yang dulu
sangat ku nanti. Hanya Mbak Inah yang selalu menemani dan menenangkan aku saat
rasa takut itu kembali muncul. Beliau sudah seperti ibu kandungku. Beliaulah
yang tetap menjagaku hingga kini. Di rumah yang sangat besar dan seharusnya
ramai seperti dulu namun kini terasa angker dan sepi senyap.
Semua
berawal saat hari naas itu, ketika aku, Mama, dan Papa menikmati malam yang
diguyur hujan. Namun, ketika petir menyambar keras seluruh lampu di rumah
padam, menjadi gelap gulita. Aku meringkuk ke dalam pelukan Mama. Namun apa
yang terjadi sungguh tak terduga. Lima orang perampok sudah berdiri di belakang
kami, menodongkan senjata mereka. Aku menangis, dan Mama terus memelukku erat.
Para Jahanam itu menarik kami dengan paksa. Dan tragis Papa yang berusaha
melawan tertembak di depan mataku, meski gelap, aku rasakan dengan jelas darah
papa mengenaiku. Aku menjerit, terhenyak takut di dalam pelukan Mama yang terus
sesugukan menangis. Kini giliran Mama yang ditarik lepas dari pelukanku. Di antara
suara deru hujan aku masih mendengar jerit terakhir Mama dan suara letusan
pistol bersamaan dengan petir menggelegar. Dan aku tak sadarkan diri.
Sekarang
aku yatim piatu, semenjak kejadian itu aku hanya tinggal bersama Mbak Inah.
Malam itu Mbak Inah menelpon polisi dan berhasil menyelamatkan aku yang
pingsan. Aku terhenyak mengingat malam kelam berhujan itu. Dua tahun telah
berlalu namun traumatik yang mendalam tetap menyisa padaku. Dan rasa takutku
saat turun hujan.
Sore
ini turun hujan, aku panik. Namun Mbak Inah memelukku dan membimbingku keluar
rumah. Aku merasakan angin menyapu wajahku. Hujan yang mereda menenangkan
hatiku. Dan mbak Inah menunjukkan sesuatu. Sesuatu yang indah yang muncul
setelah hujan dan rasa takutku. Lengkungan indah, dan penuh warna. Pelangi… Ya,
aku tersenyum dan menyadari meski hujan deras dan gelegar marah petir sekali pun
akan muncul pelangi. Pelangi yang menghapus kesedihanku, Dan yang membuatku
kembali menanti dan mencintai hujan. Agar pelangi kan hadir… Lagi… dan lagi….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar